AKSI terorisme di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1), terkesan sebagai serangan balasan yang tergesa setelah Densus 88 Antiteror Polri menggulung puluhan orang terkait jaringan terorisme dari berbagai daerah di Tanah Air. Diduga, aksi teror tersebut unjuk kekuatan sisa sel-sel teroris dari pembersihan yang dilakukan Densus 88.
Karena itu, Densus 88 harus lebih efektif lagi dalam menyapu bersih jaringan terorisme hingga tak tersisa lagi sel-sel yang mungkin membentuk kelompok baru. Dalam gejala terakhir ini, gerak mantan teroris yang usai menjalani hukuman penjara layak mendapat pengamatan khusus.
Contohnya atas Bachrum Naim, mantan napi kasus terorisme yang ditangkap Densus 88 Antiteror pada 9 November 2010 di Solo atas tuduhan pemilikan senjata api dan bahan peledak ilegal. Seusai menjalani hukuman 2 tahun 6 bulan, ia hijrah ke Suriah bergabung dengan ISIS. Menurut Kapolri Badrodin Haiti, pada November 2015 Bachrum Naim mengirim uang ke dua orang jaringan ISIS di Solo. Wakil Ketua PPATK Agus Santosa mengungkap Jumat (15/1), jumlah kiriman uang dari Timur Tengah itu cukup besar, miliaran rupiah (Kompas.com, 15/1).
Bisa jadi, dana kiriman Bachrum Naim ini termasuk untuk serangan teroris di Sarinah, Kamis. Penelusuran dana dari Timur Tengah itu, menurut Agus, atas permintaan Densus 88 Antiteror Polri. PPATK menelusuri hingga beberapa tahapan atau layer mulai dari pengiriman pertama hingga ke mana saja alokasi dana itu di Indonesia.
Dari situ, PPATK dan Densus 88 mengetahui secara pasti peta aliran dana jaringan teror di Indonesia, termasuk siapa-siapa saja orang yang terlibat. Dengan Densus 88 bisa follow the suspect lewat jaringan aliran dana yang dibuka PPATK itu, logikanya Densus 88 bisa menyapu bersih jaringan terorisme di Tanah Air.
Namun, ketika serangan teroris masih terjadi juga seperti Kamis lalu di Sarinah, diduga akibat ada mata rantai yang putus dan tak terdeteksi PPATK setelah distribusi dananya kemudian dilakukan dalam bentuk uang tunai. Karena itu, kegiatan pengintaian langsung terhadap semua oknum terkait jaringan teroris harus dilakukan lebih jeli dan lebih saksama lagi.
Selain itu, pembersihan terhadap gerakan teroris yang nyata adanya, seperti kelompok Santoso di Sulawesi Tengah, harus segera dituntaskan. Karena hal itu menjadi standar penilaian masyarakat terhadap kemampuan antiteror kepolisian kita. Kalau menghabisi gerakan yang nyata saja tak bisa, apalagi gerakan tanpa bayangan! ***
Contohnya atas Bachrum Naim, mantan napi kasus terorisme yang ditangkap Densus 88 Antiteror pada 9 November 2010 di Solo atas tuduhan pemilikan senjata api dan bahan peledak ilegal. Seusai menjalani hukuman 2 tahun 6 bulan, ia hijrah ke Suriah bergabung dengan ISIS. Menurut Kapolri Badrodin Haiti, pada November 2015 Bachrum Naim mengirim uang ke dua orang jaringan ISIS di Solo. Wakil Ketua PPATK Agus Santosa mengungkap Jumat (15/1), jumlah kiriman uang dari Timur Tengah itu cukup besar, miliaran rupiah (Kompas.com, 15/1).
Bisa jadi, dana kiriman Bachrum Naim ini termasuk untuk serangan teroris di Sarinah, Kamis. Penelusuran dana dari Timur Tengah itu, menurut Agus, atas permintaan Densus 88 Antiteror Polri. PPATK menelusuri hingga beberapa tahapan atau layer mulai dari pengiriman pertama hingga ke mana saja alokasi dana itu di Indonesia.
Dari situ, PPATK dan Densus 88 mengetahui secara pasti peta aliran dana jaringan teror di Indonesia, termasuk siapa-siapa saja orang yang terlibat. Dengan Densus 88 bisa follow the suspect lewat jaringan aliran dana yang dibuka PPATK itu, logikanya Densus 88 bisa menyapu bersih jaringan terorisme di Tanah Air.
Namun, ketika serangan teroris masih terjadi juga seperti Kamis lalu di Sarinah, diduga akibat ada mata rantai yang putus dan tak terdeteksi PPATK setelah distribusi dananya kemudian dilakukan dalam bentuk uang tunai. Karena itu, kegiatan pengintaian langsung terhadap semua oknum terkait jaringan teroris harus dilakukan lebih jeli dan lebih saksama lagi.
Selain itu, pembersihan terhadap gerakan teroris yang nyata adanya, seperti kelompok Santoso di Sulawesi Tengah, harus segera dituntaskan. Karena hal itu menjadi standar penilaian masyarakat terhadap kemampuan antiteror kepolisian kita. Kalau menghabisi gerakan yang nyata saja tak bisa, apalagi gerakan tanpa bayangan! ***
0 komentar:
Posting Komentar