Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

PPN Ternak: Senin Berlaku, Jumat Dibatalkan!

REKOR peraturan kilat, Senin (18/1) mulai berlaku, lima hari kemudian Jumat (22/1) dibatalkan, tercatat buat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/2015 yang menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% terhadap ternak potong (daging sapi). 

Pembatalan tersebut dilakukan dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinasi Perekonomian, Jumat (22/1). Kalangan dunia usaha dan masyarakat umum diharapkan tidak lagi khawatir. "Kami minta Kemenkeu agar pengenaan PPN itu ditangguhkan dulu, dibatalkan dulu," kata Menko Perekonomian Darmin Nasution. (detik-finance, 22/1) 

Menurut Darmin, aturan tersebut membuat dampak berlebihan. Terutama dari sisi harga. Pengusaha pasti akan membebankan pajak kepada harga barang sehingga menjadi lebih mahal dari sebelumnya. "Dampaknya akan berlebihan pada harga pangan strategis," tegasnya. Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian dipersilakan untuk mengkaji kembali. Namun, harus dalam posisi yang komprehensif sehingga tidak lagi menimbulkan kegaduhan. 

Keputusan Menko Perekonomian membatalkan PPN atas daging sapi itu jelas menggembirakan para pedagang daging sapi di pasar seantero Tanah Air, termasuk di Bandar Lampung. Sebagian pedagang daging sudah tidak jualan beberapa hari, akibat PPN 10% itu sejak Senin (18/1) harga daging sapi meroket hingga pembeli jadi sepi. Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri Pangan Strategis Juan Permata Adoe, ide awal aturan tersebut adalah penghapusan bea masuk untuk sapi indukan yang diimpor. "Itu permintaan dari Kementerian Pertanian, tujuannya minta bea masuk dinolkan," ungkapnya. (detik-finance, 22/1) 

Namun, entah di mana miskomunikasinya, ketika aturan diterbitkan yang keluar justru pengenaan PPN 10% kepada semua ternak potong, impor maupun lokal. Tentu saja dunia usaha terkejut karena kebijakan tersebut merugikan masyarakat. Karena itu, Adoe berharap komunikasi internal di kalangan pemerintah diperbaiki agar kejadian serupa tak terulang. "Semangatnya sudah sama, komunikasi perlu diperbaiki, keinginan-keinginan pemerintah meningkatkan produksi instrumennya bukan fiskal, melainkan operasional dan kebijakan pasar," kata dia. 

Terpenting dari pengalaman miskomunikasi ini adalah kepekaan setiap instansi untuk cepat melakukan koreksi ketika ada kekeliruan. Jadi tidak seperti dalam kasus ini, jelas-jelas keliru hingga timbul kegaduhan, tapi tetap merasa benar sendiri, sampai ada kekuasaan lebih tinggi yang meluruskan. ***

0 komentar: