Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Indonesia Menuju Babilonia Kedua!

INDONESIA cenderung menuju jadi Babilonia kedua, dengan perbedaan makna dan tafsir bahasa dipaksakan dalam interaksi bangsa. Itu terlihat dari perpecahan parpol yang setiap pihak mengklaim kebenaran pemaknaan dan tafsirnya, sampai ke pungutan terhadap rakyat dengan pertambahan bobot sapi dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) 10%. 

Konflik beda pemaknaan dan penafsiran dalam perpecahan parpol masih terus berkembang, yang cenderung kian meruncing. Pada kasus Babilonia, perbedaan makna dan tafsir yang tak mencapai kesepahaman berujung pada bubarnya komunitas. Beda pemaknaan dalam pungutan dan pajak, ujungnya jelas, hanya menyengsarakan rakyat. Contohnya pengenaan PPN 10% atas daging sapi, dengan yang dimaksud pertambahan nilai di situ adalah pertambahan bobot atau volume sapi dari bakalan jadi sapi potong yang gemuk. 

Pemaknaan “nilai” untuk pertambahan “bobot” dan “volume” sapi itu jelas tidak tepat karena pertambahan itu merupakan produktivitas hasil usaha, bukan proses. Pertambahan itu seperti bertanam padi dengan bibit 10 kg menjadi panenan 1 ton. Kesalahan logika pada PPN sapi itu kalau dibiarkan akan bisa dikenakan juga pada pertambahan produksi pada panenan padi. Sedang pajak pertambahan nilai dimaksud dari hasil proses, seperti daging sapi yang diproses menjadi kornet kalengan, pada penjualan kornet itulah dikenakan PPN 10%. 

Jadi kalau pedagang daging yang menjual dagingnya tetap daging yang sama, jelas tak bisa dikenakan pajak pertambahan nilai karena tak ada proses pertambahan nilai terhadap materi daging tersebut. Sedang kata “bobot” dan “volume” dari sapi bakalan ke sapi potong itu sama sekali berbeda maknanya dengan kata “nilai”. 

Lebih konyol lagi, subsidi untuk energi baru terbarukan (EBT) yang dalam bahasa UU-nya diperintahkan agar ditanggulangi oleh negara, dalam praktiknya dipungut dari penjualan premium Rp200 per liter dan solar Rp300 per liter, maupun dari ekspor CPO 50 dolar AS per ton yang membuat harga TBS petani sawit jeblok. 

Bayangkan kacaunya pemaknaan bahasa, subsidi seharusnya dari negara untuk rakyat, di sini malah dikutip dari rakyat seperti pengojek yang megap menghidupi keluarganya atau sopir angkot yang berat memenuhi setoran—setiap beli bensin. 

Sesuai kata dengan perbuatan dimulai dari pemaknaan yang benar setiap kata. Kalau diamalkan tidak sesuai maknanya, apalagi manipulasi makna kata itu dilakukan oleh pemerintah, sebab itu justru pemerintah sendiri menjadi penyulut kekacauan. ***

0 komentar: