Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

IPK Melesat Pertahankan Taji KPK!

IPK—indeks persepsi korupsi—peringkatnya melesat 19 tingkat dari 107 pada 2014 menjadi peringkat 88 pada 2015. Itu bukti adanya perlawanan untuk mempertahankan taji dan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sepanjang 2015 dilanda badai usaha pelemahan. Usaha itu berpuncak pada langkah merevisi UU KPK yang kehabisan waktu pada akhir 2015 dipaksakan masuk Prolegnas 2016. 

Disebut perlawanan untuk mempertahankan taji dan eksistensi KPK karena IPK yang digarap transparency international itu merupakan hasil survei dari mengumpul persepsi pengusaha dan para pakar. Tentu persepsi itu setelah melihat nasib KPK pada 2015 itu di ujung tanduk, dari dikriminalisasinya pimpinan KPK lewat konflik Cicak Lawan Buaya Jilid II—yang belakangan kasusnya cenderung makin tak jelas—sampai usaha mempreteli kewenangan KPK, lewat merevisi UU KPK dari semula usulan pemerintah hingga berubah menjadi usul inisiatif DPR. 

Hal itu membuat perlawanan publik amat keras menolak revisi UU KPK membuat prosesnya terdesak mundur terus. Persepsi pengusaha dan pakar yang tersimpul dalam hasil survei transparency internasional itu merupakan bagian dari perlawanan publik menolak revisi UU KPK tersebut. Namun, jika gerakan merevisi UU KPK yang dilakukan lewat Prolegnas 2016 di DPR tidak bisa dihentikan sehingga publik termasuk para pelaku usaha dan pakar kecewa berat, IPK Indonesia pada 2016 bisa kembali melorot ke peringkat seratusan. 

Karena itu, jika ingin IPK Indonesia bertahan sebaik 2015, pemerintah dalam hal ini terutama Presiden Jokowi harus berani menolak dengan tegas revisi UU KPK, sebagaimana yang dikehendaki oleh publik. Baik atau buruknya reputasi pemerintahan sekarang di mata dunia dalam pemberantasan korupsi akan ditentukan oleh sikap pemerintah dalam merespons positif penolakan publik terhadap revisi UU KPK. 

Tanpa penolakan pemerintah terhadap revisi UU KPK yang telah menjadi Prolegnas 2016 di DPR, apalagi pemerintan ikut mencabut taji KPK sehingga KPK menjadi ayam sayur seperti dikatakan Lalola Easter, peneliti Indonesia Corruption Watch (detiknews, 28/1). 

Reputasi pemerintah dalam pemberantasan korupsi bisa lebih buruk dari DPR. Sebab, usaha DPR merevisi UU KPK bisa berhasil semata hanya karena dukungan pemerintah. Lalu siapa yang paling disesali publik ketika KPK telah menjadi ayam sayur? Tentu saja pemerintah! Karena sebenarnya bola ada di kaki pemerintah. Kalau saja pemerintah tidak menendangnya, revisi UU KPK tidak gol! ***

0 komentar: