Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pil Pahit buat Tim Ekonomi Jokowi!

TIM ekonomi Jokowi-JK akhir 2015 menelan pil pahit. Semua asumsi makro ekonomi sebagai target pembangunan yang ditetapkan APBNP 2015—pertumbuhan ekonomi, angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi—gagal dicapai, kecuali inflasi. 

Tapi, rendahnya inflasi yang hanya 2,8%—2,9% pada akhir 2015 menurut sejumlah ekonom bukan karena keberhasilan pemerintah menjaga harga barang dan jasa. Melainkan karena harga komoditas merosot, hingga melemahkan daya beli masyarakat. "Jadi, tidak bisa diklaim keberhasilan pemerintah," ujar Kepala Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih, yang menambahkan lemahnya daya beli membuat konsumsi rumah tangga turun. (Kompas.com, 31/12/2015) 

Turunnya konsumsi rumah tangga akibat lemahnya daya beli masyarakat itu membuat pertumbuhan ekonomi melemah. Dari target sebesar 5,5%, Lana memperkirakan, secara realistis pertumbuhan ekonomi RI 2015 di level 4,72%. Melesetnya target pertumbuhan ekonomi 2015 ini berdampak pada kenaikan pengangguran dan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengangguran terbuka pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang atau 6,18 persen dari total angkatan kerja 122,4 juta orang. Jumlah itu naik 5,94% dari priode sama 2014 sebanyak 7,24 juta orang. Target penurunan angka kemiskinan tahun ini menjadi 10,3% juga gagal. 

Ternyata per Maret 2015 tingkat kemiskinan justru naik menjadi 11,2% atau mencapai 28,59 juta orang dari 27,73 juta orang (10,96%) pada September 2014. Indeks keparahan kemiskinan juga terburuk sepanjang empat tahun, Maret 2015 pada 0,535, meningkat dari 0,435 (Maret 2014), 0,432 (Maret 2013), dan 0,573 (Maret 2012). Demikian pula indeks kedalaman kemiskinan, pada 1,971 (Maret 2015), meningkat dari 1,753 (Maret 2014), 1,745 (Maret 2013), dan 1,880 (Maret 2012). Sedang ketimpangan, alih-alih menyempit. 

Laporan terakhir Bank Dunia justru mengingatkan Pemerintah RI, ketimpangan sosial ekonomi mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah Indonesia, dengan indeks rasio gini pada 2015 di level 0,42, naik dari 0,30 pada tahun 2000, atau 0,41 pada 2012 sampai 2014. Itu diungkap Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Rodrigo Chaves di Jakarta, 8 Desember 2015. (BerdikariOL, 9/12/2015) 

Melesetnya semua target tentu memberi hikmah untuk fokus pada target, tidak melebar seperti membuat pungutan 50 dolar per ton CPO di tengah merosotnya harga komoditas hingga menumpas daya beli masyarakat dan menjauhkan target dari capaian. ***

0 komentar: