Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kecelakaan Kerja!

"ADIKMU mau jadi wartawan?" tukas Umar. "Kalau boleh kuingatkan, sebaiknya jangan! Risikonya, kalau terjadi kecelakaan kerja dalam profesinya, langsung masuk penjara!" 

"Lantas harus kerja apa?" sambut Amir. "Di bank saja! Risikonya, kalau jatuh di atas tumpukan duit!" anjur Umar. "Apalagi adikmu sarjana, salah-salah mutasi bisa jadi direksi!" "Risiko direksi bank dan wartawan tak beda!" timpal Amir. "Ketika terjadi kecelakaan kerja, sama-sama masuk penjara!" "Kenapa risiko kecelakaan kerja wartawan dan direksi bank langsung masuk penjara?" sambut Umar. "Padahal profesi lain tak begitu! Hakim, misalnya, sesalah apa pun memutus perkara, yang juga semacam kecelakaan kerja, yang dialami hanya koreksi atas putusannya oleh Pengadilan Tinggi! Begitu seterusnya hingga kasasi dan PK!" "Diakui, setiap profesi punya keunikan teknis dan prinsip pengabdian! 

Tapi kecelakaan kerja bisa terjadi pada semua profesi sehingga suatu pengaturan proses penanganan kasusnya dari sisi kecelakaan kerja seharusnya bisa dilakukan! Ini dimaksudkan agar tercipta keadilan antarprofesi, tidak lagi profesi yang satu jika mengalami kecelakaan kerja langsung masuk bui, sementara profesi lain senantiasa mendapat kesempatan perbaikan secara sistemik tanpa risiko apa pun!" "Gugatan keadilan perlakuan antarprofesi itu terasa ada benarnya, tapi belum terbayang harus mulai dari mana mewujudkannya!" timpal Umar. 

"Masalahnya, jangankan rasa keadilan antarprofesi, dalam perbedaan sosial saja, penjabarannya dalam praktik keadilan formal maupun sosial masih jauh dari harapan!" "Logika begitu terbalik!" tegas Amir. "Justru kalau rasa keadilan perlakuan antarprofesi saja tak bisa dihadirkan, padahal ini menyangkut nasib kaum profesional yang relatif melek hukum, bakal lebih jauh lagi peluang bagi terciptanya rasa keadilan di tengah dikotomi sosial kaya-miskin dan kuat-lemah itu!" "Lantas, apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk bisa menguak harapan agar semua ideal itu tak mustahil!" 

"Kayaknya kita kekurangan pemikir sekelas filsuf bidang hukum yang mampu mendesain suatu sistem hukum yang komprehensif!" tukas Amir. "Lihat misalnya DPR sebagai produsen UU, produknya selalu sepotong-sepotong, sering tidak klop antara satu UU dan lainnya atau malah kurang relevan dengan semangat zaman saat UU itu sendiri dilahirkan!" "Mencari pemikir sekomprehensif bapak-bapak pendiri bangsa untuk me-review ulang perjalanan bangsa, agaknya tak mudah!" timpal Umar. 

"Konsekuensinya, sesulit itu pula usaha menguak harapan terpenuhinya rasa keadilan multidimensi dalam masyarakat bangsa!" *** 

 Tulisan ini pernah diterbitkan pada edisi 31 Januari 2011

0 komentar: