DESA yang termarginalisasi telah berubah dari produsen menjadi pasar atau konsumen yang kian bergantung pada produk korporasi dan kota. Produk itu dari bahan makanan sampai alat-alat produksi pertanian—bibit, pupuk, dan pestisida.
"Dengan kata lain, petani kini hanya sebagai perakit, bukan lagi produsen yang otonom," kata Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM Bambang Hudayana. Masyarakat petani juga sudah banyak beralih dari sektor pertanian ke bukan pertanian, dengan membuka warung kelontong di desa. (Kompas.com, 11/1)
"Artinya mereka menjual produk-produk dari kota. Dampaknya, uang yang masuk ke desa bertambah banyak. Tidak sebatas suntikan dana desa dan alokasi dana desa," ujarnya. Namun, akibat struktur ekonomi desa yang kian tergantung pada korporasi dan kota, uang di desa cepat mengalir kembali ke kota. Pada akhirnya, kota dan korporasi paling diuntungkan. Sedang desa, sebagai struktur terbawah pada piramida ekonomi, tetap miskin. Lebih parah lagi, masyarakat desa sudah jadi konsumen pangan.
Guru besar IPB Dwi Andreas Santosa mengingatkan warga desa atau petani tidak memiliki cadangan bahan makanan yang bisa disimpan. Hasil panen padi dan jagung langsung dijual untuk modal musim tanam berikutnya, membayar utang, dan membeli barang konsumsi. Dengan itu, desa bergantung dengan barang-barang dari kota dan korporasi. Masalah itu berakar dari sikap pemerintah yang tidak melindungi petani dan desa.
Salah satu indikatornya, harga pokok penjualan gabah pada 2015 hanya naik 10—12% dibanding 2012, padahal pada periode sama inflasi meningkat 21,3%. Struktur perekonomian desa yang kian bergantung pada korporasi dan kota, menurut Andreas, membuat desa kian rentan mengalami inflasi tinggi.
Berdasar data BPS, selama Januari—Desember 2015, desa mengalami sembilan bulan inflasi lebih tinggi dan deflasi lebih tipis daripada kota. Pada 2014, desa mengalami tujuh bulan inflasi lebih tinggi dan deflasi lebih tipis ketimbang kota. Untuk mengembalikan kedaulatan ekomomi desa hingga terlepas dari ketergantungannya pada korporasi dan kota, tentu harus dengan memperkuat posisinya sebagai produsen.
Hal itu bisa dilakukan dengan kucuran dana desa (DD) dari pusat dan alokasi dana desa (ADD) dari kabupaten. Namun, usaha mengurangi posisi sebagai konsumen bisa terkendala oleh melimpahnya DD dan ADD yang justru meningkatkan daya konsumsi. Jadi, keseimbangan sebagai produsen dan konsumen solusinya. Tapi, seperti apa itu, perlu dirumuskan lagi. ***
"Artinya mereka menjual produk-produk dari kota. Dampaknya, uang yang masuk ke desa bertambah banyak. Tidak sebatas suntikan dana desa dan alokasi dana desa," ujarnya. Namun, akibat struktur ekonomi desa yang kian tergantung pada korporasi dan kota, uang di desa cepat mengalir kembali ke kota. Pada akhirnya, kota dan korporasi paling diuntungkan. Sedang desa, sebagai struktur terbawah pada piramida ekonomi, tetap miskin. Lebih parah lagi, masyarakat desa sudah jadi konsumen pangan.
Guru besar IPB Dwi Andreas Santosa mengingatkan warga desa atau petani tidak memiliki cadangan bahan makanan yang bisa disimpan. Hasil panen padi dan jagung langsung dijual untuk modal musim tanam berikutnya, membayar utang, dan membeli barang konsumsi. Dengan itu, desa bergantung dengan barang-barang dari kota dan korporasi. Masalah itu berakar dari sikap pemerintah yang tidak melindungi petani dan desa.
Salah satu indikatornya, harga pokok penjualan gabah pada 2015 hanya naik 10—12% dibanding 2012, padahal pada periode sama inflasi meningkat 21,3%. Struktur perekonomian desa yang kian bergantung pada korporasi dan kota, menurut Andreas, membuat desa kian rentan mengalami inflasi tinggi.
Berdasar data BPS, selama Januari—Desember 2015, desa mengalami sembilan bulan inflasi lebih tinggi dan deflasi lebih tipis daripada kota. Pada 2014, desa mengalami tujuh bulan inflasi lebih tinggi dan deflasi lebih tipis ketimbang kota. Untuk mengembalikan kedaulatan ekomomi desa hingga terlepas dari ketergantungannya pada korporasi dan kota, tentu harus dengan memperkuat posisinya sebagai produsen.
Hal itu bisa dilakukan dengan kucuran dana desa (DD) dari pusat dan alokasi dana desa (ADD) dari kabupaten. Namun, usaha mengurangi posisi sebagai konsumen bisa terkendala oleh melimpahnya DD dan ADD yang justru meningkatkan daya konsumsi. Jadi, keseimbangan sebagai produsen dan konsumen solusinya. Tapi, seperti apa itu, perlu dirumuskan lagi. ***
0 komentar:
Posting Komentar