OTORITAS moneter Indonesia dinilai terlalu memanjakan pemilik uang dengan pola bunga yang tertinggi di ASEAN. Wapres Jusuf Kalla meminta semua pemangku kepentingan di otoritas moneter Indonesia untuk mengubah pola pikir bahwa ekonomi Indonesia tidak akan tumbuh pesat dengan besaran bunga perbankan singgel digit atau di bawah 10%.
Menurut Kalla, itu kesalahan pola pikir. Dengan bunga tinggi orang tak berani berusaha. Jiwa-jiwa entrepreneur mati dan tak akan tumbuh. Bunga tinggi banyak akibat negatifnya. "Kalau bunga tinggi, deposito akan lebih tinggi. Berarti orang akan kekurangan daya entrepreneurship. Jadi lebih baik dengan bunga daripada berusaha," ujar Kalla. (Kompas.com, 16/1)
Seharusnya, tegas Kalla, semua pemangku kebijakan di otoritas moneter Indonesia mendidik masyarakat untuk hidup berusaha, bukan dimanjakan dengan besaran bunga deposito yang tinggi. Dengan bunga deposito yang tinggi itu, dunia usaha bekerja mati-matian menempuh berbagai risiko, hasilnya hanya untuk membayar bunga tinggi yang memanjakan pemilik uang. Senada dengan JK, Presiden Jokowi menyebut pemerintah pada 2016 harus mengalokasikan dana sebesar Rp10,5 triliun subsidi untuk menurunkan bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 22% menjadi 9%.
Karena itu, Jokowi menegaskan entah bagaimana caranya, suku bunga bank harus turun ke kisaran 4%—6%. "Kalau negara lain bunga bank hanya 4%, 5%, 6%, kita juga harus nantinya seperti itu. Siap-siap perbankan, entah jurusnya seperti apa, pasti akan saya cari," tegas Jokowi. (Bisnis.com, 15/1)
Beralih pola pikir dari paradigma bunga tinggi ke bunga rendah seperti harapan Presiden dan Wakil Presiden itu tampaknya tak mudah. Betapa, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) meski telah dimanja dengan bunga tinggi pun, justru menjadi tantangan utama perbankan Indonesia 2016.
Menurut Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis, loan to deposit ratio (LDR) atau rasio kredit terhadap DPK berada di hampir 90%, yang tergolong tinggi, maka tidak mudah bagi perbankan untuk mencapai pertumbuhan kredit tanpa didukung pertumbuhan dana yang baik. (Kompas.com, 13/1)
Itu senada dengan Survei Perbankan BI, terkait DPK, responden memperkirakan pertumbuhan kuartalan melambat pada kuartal I 2016, terutama disebabkan perkiraan penurunan suku bunga dana. Jadi, untuk sementara, keinginan Presiden dan Wakil Presiden agar beralih ke pola bunga rendah itu masih belum searah dengan realitas moneter dan perbankan Indonesia. ***
Seharusnya, tegas Kalla, semua pemangku kebijakan di otoritas moneter Indonesia mendidik masyarakat untuk hidup berusaha, bukan dimanjakan dengan besaran bunga deposito yang tinggi. Dengan bunga deposito yang tinggi itu, dunia usaha bekerja mati-matian menempuh berbagai risiko, hasilnya hanya untuk membayar bunga tinggi yang memanjakan pemilik uang. Senada dengan JK, Presiden Jokowi menyebut pemerintah pada 2016 harus mengalokasikan dana sebesar Rp10,5 triliun subsidi untuk menurunkan bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 22% menjadi 9%.
Karena itu, Jokowi menegaskan entah bagaimana caranya, suku bunga bank harus turun ke kisaran 4%—6%. "Kalau negara lain bunga bank hanya 4%, 5%, 6%, kita juga harus nantinya seperti itu. Siap-siap perbankan, entah jurusnya seperti apa, pasti akan saya cari," tegas Jokowi. (Bisnis.com, 15/1)
Beralih pola pikir dari paradigma bunga tinggi ke bunga rendah seperti harapan Presiden dan Wakil Presiden itu tampaknya tak mudah. Betapa, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) meski telah dimanja dengan bunga tinggi pun, justru menjadi tantangan utama perbankan Indonesia 2016.
Menurut Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis, loan to deposit ratio (LDR) atau rasio kredit terhadap DPK berada di hampir 90%, yang tergolong tinggi, maka tidak mudah bagi perbankan untuk mencapai pertumbuhan kredit tanpa didukung pertumbuhan dana yang baik. (Kompas.com, 13/1)
Itu senada dengan Survei Perbankan BI, terkait DPK, responden memperkirakan pertumbuhan kuartalan melambat pada kuartal I 2016, terutama disebabkan perkiraan penurunan suku bunga dana. Jadi, untuk sementara, keinginan Presiden dan Wakil Presiden agar beralih ke pola bunga rendah itu masih belum searah dengan realitas moneter dan perbankan Indonesia. ***
0 komentar:
Posting Komentar