TERORIS kelompok Abu Sayyaf di Filipina telah mengeksekusi satu sandera, John Ridsdel (60), asal Kanada. John dieksekusi lima jam setelah tenggat pembayaran tebusan berakhir.
Detiknews mengutip AFP, Selasa (26/4/2016), beberapa jam setelah akhir masa pembayaran tebusan, petugas polisi Filipina melihat dua orang yang mengendarai sepeda motor menurunkan sebuah kantong berisi kepala dekat pusat Kota Jolo, Pulau Sulu. "Kami menemukan kepala dalam kantong plastik," kata Kepala Polisi Provinsi Wilfredo Cayat.
John Ridsdel bersama seorang turis Kanada lainnya, Robert Hall, kekasih Hall yang warga Filipina, dan manajer resort, Kjartan Sekkingstad, asal Norwegia diculik kelompok Abu Sayyaf 7 bulan lalu, 21 September 2015.
Enam minggu setelah penculikan, penyandera mengunggah video ke media sosial, minta tebusan untuk masing-masing sandera 21 juta dolar AS. Dalam video terakhir, kelompok itu mengancam akan mengeksekusi John Ridsdel jika tebusan sebesar 6,4 juta dolar AS tak dibayar hingga 25 April 2016.
Eksekusi sandera ini bisa dimaknai sebagai lonceng yang dibunyikan kelompok teroris. Tak perlu ditanya buat siapa lonceng berbunyi. Indonesia sebagai negara yang 14 warganya disandera teroris Abu Sayyaf pantas menyikapinya dengan lebih waspada.
Apalagi, untuk 10 sandera pertama yang diculik 26 Maret 2016, kepada pihak PT Patria Maritim Lines, pemilik Kapal Brahma 12 dan tongkang Anand 12 yang 10 awaknya disandera, sejak kontak pertama teroris telah menetapkan tebusan 50 juta peso atau Rp15 miliar, dengan tenggat pembayaran tebusan 8 April 2016.
Memang, saat tenggat itu tiba, tidak ada tindakan dari teroris. Tapi, itu tetap harus diartikan sudah lampu kuning. Satu kali lagi isyarat datang, tak bisa ditawar lagi. Eksekusi Ridsdel contohnya.
Namun, kagum pada ketenangan Pemerintah Indonesia menghadapi masalah ini, dengan serangkai alasannya. Pertama, sesuai dengan saran Filipina, Pemerintah Indonesia tak akan membayar tebusan. Urusan tebusan diserahkan kepada perusahaan pemilik kapal, tanpa peduli soal kemampuan memenuhinya.
Kedua, sesuai dengan konstitusi Filipina, pasukan Indonesia tak bisa masuk membebaskan sandera—meski sudah siap di perbatasan. Kalaupun minta izin, harus dengan persetujuan parlemennya. Dengan serangkai alasan itu, Pemerintah Indonesia dengan sendirinya lepas dari tanggung jawab, atau tidak bisa disalahkan, andai terjadi sesuatu atas sandera. Karena, dengan begitu, pemerintah memang tak bisa berbuat banyak! ***
John Ridsdel bersama seorang turis Kanada lainnya, Robert Hall, kekasih Hall yang warga Filipina, dan manajer resort, Kjartan Sekkingstad, asal Norwegia diculik kelompok Abu Sayyaf 7 bulan lalu, 21 September 2015.
Enam minggu setelah penculikan, penyandera mengunggah video ke media sosial, minta tebusan untuk masing-masing sandera 21 juta dolar AS. Dalam video terakhir, kelompok itu mengancam akan mengeksekusi John Ridsdel jika tebusan sebesar 6,4 juta dolar AS tak dibayar hingga 25 April 2016.
Eksekusi sandera ini bisa dimaknai sebagai lonceng yang dibunyikan kelompok teroris. Tak perlu ditanya buat siapa lonceng berbunyi. Indonesia sebagai negara yang 14 warganya disandera teroris Abu Sayyaf pantas menyikapinya dengan lebih waspada.
Apalagi, untuk 10 sandera pertama yang diculik 26 Maret 2016, kepada pihak PT Patria Maritim Lines, pemilik Kapal Brahma 12 dan tongkang Anand 12 yang 10 awaknya disandera, sejak kontak pertama teroris telah menetapkan tebusan 50 juta peso atau Rp15 miliar, dengan tenggat pembayaran tebusan 8 April 2016.
Memang, saat tenggat itu tiba, tidak ada tindakan dari teroris. Tapi, itu tetap harus diartikan sudah lampu kuning. Satu kali lagi isyarat datang, tak bisa ditawar lagi. Eksekusi Ridsdel contohnya.
Namun, kagum pada ketenangan Pemerintah Indonesia menghadapi masalah ini, dengan serangkai alasannya. Pertama, sesuai dengan saran Filipina, Pemerintah Indonesia tak akan membayar tebusan. Urusan tebusan diserahkan kepada perusahaan pemilik kapal, tanpa peduli soal kemampuan memenuhinya.
Kedua, sesuai dengan konstitusi Filipina, pasukan Indonesia tak bisa masuk membebaskan sandera—meski sudah siap di perbatasan. Kalaupun minta izin, harus dengan persetujuan parlemennya. Dengan serangkai alasan itu, Pemerintah Indonesia dengan sendirinya lepas dari tanggung jawab, atau tidak bisa disalahkan, andai terjadi sesuatu atas sandera. Karena, dengan begitu, pemerintah memang tak bisa berbuat banyak! ***
0 komentar:
Posting Komentar