Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Korupsi itu Ganasnya Kekuasaan!

ERA keterbukaan informasi telah mengubah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang melek politik dan melek hukum. Namun, di era yang serbaterbuka ini pula keganasan kekuasaan belum bisa dijinakkan.

Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyebut ganasnya kekuasaan itu adalah korupsi. Kewenangan masih menjadi komoditas yang kerap diperdagangkan. Bahkan, celah korupsi bisa semakin lebar sebab jumlah anggaran pemerintah yang tersedia kini begitu besar. Kira-kira, sepuluh kali lipat dari Orde Baru. (Kompas.com, 22/4/2016)

Tapi memang, tukas Kalla, yang korupsi orang tinggi. Ada 9 menteri, ada 19 gubernur, ada ratusan bupati, ada 40 anggota DPR, ratusan anggota DPRD. Memang banyak. 

Kalla yakin korupsi dan kekuasaan selalu punya benang merah. Korupsi dan kekuasaan punya keterkaitan yang kuat, begitu erat. "Sebenarnya kalau kita bicara korupai, tentu korupsi itu ya bicara kekuasaan," ujarnya. 

Ada kekuatan dari kekuasaan yang selalu menjadi celah untuk korupsi, yakni kewenangan. Selama ini, tuturnya, para pemegang kekuasaan kerap kali menggunakan kewenanganya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Di situlah, kewenangannya justru menjadi komoditas. 

"Kalau Anda tidak punya kewenangan, ya Anda tidak bisa korup. Karena yang diperdagangkan ialah kewenangan," tegas Kalla. "Kalau wartawan mau korupsi, korupsi apa? Anda tidak punya kewenangan memutuskan orang mendapat apa, atau meringankan apa-apa." 

Orang terjerumus melakukan korupsi antara lain karena angkuh hingga lupa diri. Angkuh merasa kekuasaan yang didapatnya semata hasil kepintaran dan kemampuannya sehingga ia memanfaatkan kekuasaan sebagai bukti kehebatan dirinya itu. 

Ketika keangkuhan sudah menyekap dirinya, ia lupa diri bahwa sekecil apa pun kekuasan itu merupakan delegasi kekuasaan dari Yang Mahakuasa untuk mengatur dunia. Dia lupa, tak sesuatu pun di dunia ini di luar kekuasaan-Nya. 

Karena itu, orang bijak jika menerima kekuasaan mengucap "inalillah!" Kekuasaan diemban sebagai amanah bersifat ilahiah. Artinya, bukan semata sebagai bukti kehebatan dirinya. Sebagai amanah sedemikian itu, bukan cuma tidak korupsi, tapi setiap langkah kekuasaan dijalankan di atas etika dan moral. 

Etika berarti sesuai kepatutan berdasarkan kepentingan orang banyak, tidak sok kuasa dan mentang-mentang semaunya sendiri saja. Sedang moral, menjalankan kekuasaan berdasar amar makruf nahi mungkar! 

Dengan tegak di atas prinsip inalillah itu, kekuasaan dijamin bebas dari korupsi. ***

0 komentar: