LAMPUNG sebagai provinsi pengekspor kopi terbesar nasional tidak terwakili eksplisit dalam ajang Specialty Coffee Association of Amerika (SCAA) Expo 2016 yang digelar di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS) 14-17 April 2016. Expo ini menobatkan Indonesia sebagai Potrait Country (PC).
Sebagai PC Indonesia memantapkan branding sebagai pemilik kopi terbaik di dunia yang lolos seleksi standar tinggi yang ditetapkan SCAA. (Kompas.com, 8/4/2016)
Untuk jadi primadona expo yang akan menjadi sorotan 12 ribu pengunjung SCAA itu, menurut Menteri Perdagangan Thomas Lembong dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (8/4/2016), telah ditetapkan 17 jenis specialty coffee dari daerah penghasil kopi, Aceh hingga Papua. Namun, dari 17 nama specialty coffee itu tak satu pun asal Lampung.
Ke-17 specialty coffee itu hasil pengujian kurator kopi Caswells Coffee, satu-satunya laboratorium kopi di Indonesia yang tersertifikasi standar SCAA. Ke-17 jenis kopi yang terpilih yakni, Gunung Pontang, Mekar Wangi, Manggarai, Malabar Honey, Atu Lintang, Toraja Sapan, Bluemoon Organic, Gayo Organic, Java Cibeber, Kopi Catur Washed, West Java Pasundan Honey, Arabica Toraja, Flores Golewa, Redelong, Preanger Weninggalih, Flores Ende, dan Java Temanggung.
Kopi Luwak made in Lampung ternyata tidak jadi pilihan. Mungkin karena kopi luwak sudah terkenal di AS sejak tayang di acara Oprah Winfrey Show, juga dicoba CNN News Team. (lihat, Wibowo T. Tunardy, "Kopi Luwak, Kopi Terbaik Indonesia" (2009, www.sekedarinfo)
Kebanyakan specialty coffee yang terpilih dari jenis kopi Arabica, beda dengan kopi Lampung jenis Robusta.
Tak disertakannya kopi Lampung saat Indonesia jadi PC di SCAA Expo 2016, sebagai provinsi produsen terbesar kopi nasional, layak menjadi bahan introspeksi masyarakat Lampung. Terutama, terkait kualitas kopi Lampung. Kalau dilihat pada daftar harga komoditas di Halaman 9 Lampung Post selama ini, tercatat harga kopi Arabica basis Medan Rp50 ribu/kg, sedang kopi Robusta basis Lampung Rp17.000/kg.
Bukan mesti mengganti jenis kopi dengan Arabica seperti membuat percobaan kebun kopi Arabica di Jl. Soekarno-Hatta Bandar Lampung akhir 1980-an. Tapi, meningkatkan kualitas, dari perawatan tanaman sekalian meningkatkan kuantitas produksi, sampai proses panen dan pascapanen hingga standar ekspor Lampung bukan kopi asalan lagi. Kopi punya aspek seni. Kurator rupanya kurang tertarik menguji kopi asalan yang terlihat kurang memikat. ***
Untuk jadi primadona expo yang akan menjadi sorotan 12 ribu pengunjung SCAA itu, menurut Menteri Perdagangan Thomas Lembong dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (8/4/2016), telah ditetapkan 17 jenis specialty coffee dari daerah penghasil kopi, Aceh hingga Papua. Namun, dari 17 nama specialty coffee itu tak satu pun asal Lampung.
Ke-17 specialty coffee itu hasil pengujian kurator kopi Caswells Coffee, satu-satunya laboratorium kopi di Indonesia yang tersertifikasi standar SCAA. Ke-17 jenis kopi yang terpilih yakni, Gunung Pontang, Mekar Wangi, Manggarai, Malabar Honey, Atu Lintang, Toraja Sapan, Bluemoon Organic, Gayo Organic, Java Cibeber, Kopi Catur Washed, West Java Pasundan Honey, Arabica Toraja, Flores Golewa, Redelong, Preanger Weninggalih, Flores Ende, dan Java Temanggung.
Kopi Luwak made in Lampung ternyata tidak jadi pilihan. Mungkin karena kopi luwak sudah terkenal di AS sejak tayang di acara Oprah Winfrey Show, juga dicoba CNN News Team. (lihat, Wibowo T. Tunardy, "Kopi Luwak, Kopi Terbaik Indonesia" (2009, www.sekedarinfo)
Kebanyakan specialty coffee yang terpilih dari jenis kopi Arabica, beda dengan kopi Lampung jenis Robusta.
Tak disertakannya kopi Lampung saat Indonesia jadi PC di SCAA Expo 2016, sebagai provinsi produsen terbesar kopi nasional, layak menjadi bahan introspeksi masyarakat Lampung. Terutama, terkait kualitas kopi Lampung. Kalau dilihat pada daftar harga komoditas di Halaman 9 Lampung Post selama ini, tercatat harga kopi Arabica basis Medan Rp50 ribu/kg, sedang kopi Robusta basis Lampung Rp17.000/kg.
Bukan mesti mengganti jenis kopi dengan Arabica seperti membuat percobaan kebun kopi Arabica di Jl. Soekarno-Hatta Bandar Lampung akhir 1980-an. Tapi, meningkatkan kualitas, dari perawatan tanaman sekalian meningkatkan kuantitas produksi, sampai proses panen dan pascapanen hingga standar ekspor Lampung bukan kopi asalan lagi. Kopi punya aspek seni. Kurator rupanya kurang tertarik menguji kopi asalan yang terlihat kurang memikat. ***
0 komentar:
Posting Komentar