KONFLIK di perairan Natuna antara kapal patroli Kelautan dan Perikanan Indonesia dengan coastguard Tiongkok diselesaikan secara damai. Kemesraan bak bulan madu hubungan RI-Tiongkok yang sempat terusik oleh konflik tersebut pun pulih dan berlanjut.
Sekretaris Kabinet Pramomo Anung, Rabu (13/4/2016), mengatakan, "Hal itu sudah dianggap selesai dan dianggap ada kesalahpahaman." Indonesia dan Tiongkok sama-sama mendukung penyelesaian insiden di Natuna dengan jalan damai. (Kompas.com, 13/4/2016)
Kapal nelayan Tiongkok KM Kway Fey yang ditangkap kapal patroli Indonesia di kawasan Natuna ditabrak coastguard Tiongkok, Sabtu (19/3/2016). Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada Minggu menggelar konferensi pers, protes kerasnya Senin diteruskan Menlu Retno Marsudi ke kuasa usaha Tiongkok. Tapi Beijing justru menuduh kapal nelayannya di perairan tradisional tempat mereka menangkap ikan diserang kapal bersenjata RI, dan meminta delapan nelayan mereka segera dibebaskan.
Insiden itu mengusik kemesraan hubungan RI-Tiongkok. Indonesia mendapat banyak bantuan Tiongkok untuk proyek infrastruktur yang dibanggakan Jokowi-JK, dari jalan tol trans-Sumatera dilengkapi jalur kereta api, jalur KA trans-Sulawesi, KA cepat Jakarta—Bandung dan lainnya.
Untuk memulihkan bulan madu itulah, konflik yang sempat dibuat serius oleh pihak kita itu cepat diselesaikan secara damai. Dan Menteri Susi yang paling sewot atas insiden itu tak bereaksi pada putusan Istana memilih jalan damai.
Sikap Menteri Susi terakhir sekali memang sedikit melunak. Meski sempat melansir kontraisu lewat Chief Editorial Meeting di kantornya atas pernyataan Wapres Kalla agar Susi mengevaluasi kebijakannya, hal sama diperkuat Presiden Jokowi, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR Rabu (13/4/2016), Susi mau menyepakati revisi Peraturan Menteri No. 1 Tahun 2015 tentang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan, dengan menerima masukan dan aspirasi dari masyarakat nelayan—pada demo Hari Nelayan 6 April. (Kompas.com, 13/4/2016)
Evaluasi dan revisi kebijakan Susi sudah semestinya, karena menurut data BPS, ekspor komoditas perikanan 2015 anjlok paling dalam (25%) dari 4,79 miliar dolar AS pada 2014 menjadi 3,6 miliar dolar AS pada 2015, dibanding penurunan seluruh ekspor pada periode yang sama 14,62%.
Kesalahpahaman yang harus dikoreksi bukan hanya atas insiden Natuna, melainkan juga kebijakan yang tak sesuai dengan janji kampanye Jokowi-JK meningkatkan kesejahteraan rakyat. ***
Kapal nelayan Tiongkok KM Kway Fey yang ditangkap kapal patroli Indonesia di kawasan Natuna ditabrak coastguard Tiongkok, Sabtu (19/3/2016). Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada Minggu menggelar konferensi pers, protes kerasnya Senin diteruskan Menlu Retno Marsudi ke kuasa usaha Tiongkok. Tapi Beijing justru menuduh kapal nelayannya di perairan tradisional tempat mereka menangkap ikan diserang kapal bersenjata RI, dan meminta delapan nelayan mereka segera dibebaskan.
Insiden itu mengusik kemesraan hubungan RI-Tiongkok. Indonesia mendapat banyak bantuan Tiongkok untuk proyek infrastruktur yang dibanggakan Jokowi-JK, dari jalan tol trans-Sumatera dilengkapi jalur kereta api, jalur KA trans-Sulawesi, KA cepat Jakarta—Bandung dan lainnya.
Untuk memulihkan bulan madu itulah, konflik yang sempat dibuat serius oleh pihak kita itu cepat diselesaikan secara damai. Dan Menteri Susi yang paling sewot atas insiden itu tak bereaksi pada putusan Istana memilih jalan damai.
Sikap Menteri Susi terakhir sekali memang sedikit melunak. Meski sempat melansir kontraisu lewat Chief Editorial Meeting di kantornya atas pernyataan Wapres Kalla agar Susi mengevaluasi kebijakannya, hal sama diperkuat Presiden Jokowi, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR Rabu (13/4/2016), Susi mau menyepakati revisi Peraturan Menteri No. 1 Tahun 2015 tentang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan, dengan menerima masukan dan aspirasi dari masyarakat nelayan—pada demo Hari Nelayan 6 April. (Kompas.com, 13/4/2016)
Evaluasi dan revisi kebijakan Susi sudah semestinya, karena menurut data BPS, ekspor komoditas perikanan 2015 anjlok paling dalam (25%) dari 4,79 miliar dolar AS pada 2014 menjadi 3,6 miliar dolar AS pada 2015, dibanding penurunan seluruh ekspor pada periode yang sama 14,62%.
Kesalahpahaman yang harus dikoreksi bukan hanya atas insiden Natuna, melainkan juga kebijakan yang tak sesuai dengan janji kampanye Jokowi-JK meningkatkan kesejahteraan rakyat. ***
0 komentar:
Posting Komentar