MESKI pertumbuhan kuartal I 2016 masih melambat jadi 6,7% (year to year/yoy) dari kuartal sebelumnya 6,8%, perekonomian Tiongkok mencapai indikasi turning point (titik balik) dari penurunan panjang berakhirnya pertumbuhan dua digit selama dua dekade.
Juru bicara Biro Statistik Nasional (NBS) Tiongkok Sheng Laiyun dikutip Antara dari Xinhua (15/4/2016) mengatakan, indikator awal untuk itu pada investasi aset tetap (fixed asset) naik 10,7% (yoy) pada kuartal I 2016, suatu ekspansi yang lebih cepat dari tahun lalu 10%. Investasi di sektor properti tumbuh 6,2%, lebih cepat dari 1,0% untuk seluruh tahun lalu.
Indikator berikutnya pada priode sama, output produksi industri tumbuh 5,8%, percepatan dari 5,4%. Lalu sektor jasa tumbuh 7,6%, melampaui kenaikan 2,9% di industri primer maupun 5,8% di industri sekunder. Produksi industri dan jasa ini menyumbang 56,9% dari perekonomian secara keseluruhan (PDB), naik 2,0% dari tahun sebelumnya. Pada 2015, produksi industri saja menyumbang 40,5% pada total PDB Tiongkok.
Khusus Maret, produksi industri naik 6,8% dari tahun sebelumnya, tertinggi sejak Juni. Pada basis bulanan, Maret itu naik 0,64% dari Februari. Bahkan produksi industri teknologi tinggi naik 9,2%, disusul peralatan manufaktur 7,5%. Produksi manufaktur tumbuh 6,5%, naik dari 6,0% di dua bulan pertama. Juga penjualan ritel, naik 10,3% dari 10,2% pada dua bulan awal tahun.
Demikian sejumlah indikator dari Biro Statistik Tiongkok, menunjukkan penurunan panjang ekonomi negeri itu telah mencapai titik balik untuk bangkit dan melaju lagi. Seiring indikator positif itu, Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok 0,2% untuk 2016 dan 2017 dari perkiraan yang dirilis awal tahun.
Namun Sheng mengingatkan, semua itu bisa terpengaruh oleh bertahannya tekanan akibat ketidakpastian ekonomi global. Serta, beratnya perubahan struktural negeri itu menggeser pendekatan pertumbuhan yang berporos pada produksi menjadi produksi yang didorong konsumsi dan kewirausahaan.
Indikasi positif ekonomi Tiongkok itu penting artinya sebagai mitra dagang utama Indonesia. Kebangkitan industrinya bisa mengatrol ekspor komoditas Indonesia. Ini menjadi kompensasi, saat menurut survei BI (metrotvnews, 11/4/2016) industri pengolahan Indonesia mengalami kontraksi hingga kuartal I-2016 pada 46,69%. Bisa dipahami kalau di KEK Bitung saja, efektif tinggal 7% dari kapasitas terpasang. ***
Indikator berikutnya pada priode sama, output produksi industri tumbuh 5,8%, percepatan dari 5,4%. Lalu sektor jasa tumbuh 7,6%, melampaui kenaikan 2,9% di industri primer maupun 5,8% di industri sekunder. Produksi industri dan jasa ini menyumbang 56,9% dari perekonomian secara keseluruhan (PDB), naik 2,0% dari tahun sebelumnya. Pada 2015, produksi industri saja menyumbang 40,5% pada total PDB Tiongkok.
Khusus Maret, produksi industri naik 6,8% dari tahun sebelumnya, tertinggi sejak Juni. Pada basis bulanan, Maret itu naik 0,64% dari Februari. Bahkan produksi industri teknologi tinggi naik 9,2%, disusul peralatan manufaktur 7,5%. Produksi manufaktur tumbuh 6,5%, naik dari 6,0% di dua bulan pertama. Juga penjualan ritel, naik 10,3% dari 10,2% pada dua bulan awal tahun.
Demikian sejumlah indikator dari Biro Statistik Tiongkok, menunjukkan penurunan panjang ekonomi negeri itu telah mencapai titik balik untuk bangkit dan melaju lagi. Seiring indikator positif itu, Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok 0,2% untuk 2016 dan 2017 dari perkiraan yang dirilis awal tahun.
Namun Sheng mengingatkan, semua itu bisa terpengaruh oleh bertahannya tekanan akibat ketidakpastian ekonomi global. Serta, beratnya perubahan struktural negeri itu menggeser pendekatan pertumbuhan yang berporos pada produksi menjadi produksi yang didorong konsumsi dan kewirausahaan.
Indikasi positif ekonomi Tiongkok itu penting artinya sebagai mitra dagang utama Indonesia. Kebangkitan industrinya bisa mengatrol ekspor komoditas Indonesia. Ini menjadi kompensasi, saat menurut survei BI (metrotvnews, 11/4/2016) industri pengolahan Indonesia mengalami kontraksi hingga kuartal I-2016 pada 46,69%. Bisa dipahami kalau di KEK Bitung saja, efektif tinggal 7% dari kapasitas terpasang. ***
0 komentar:
Posting Komentar