KENAPA meski Menteri Pertanian mengimbau Bulog agar segera menyerap maksimal gabah petani saat panen raya, penyerapannya selalu tidak seperti diharapkan? Akibatnya, harga gabah yang tercatat di situs Kementerian Pertanian (www.pertanian.go.id) pada hari terakhir, tak satu daerah pun yang menyentuh harga pembelian pemerintah (HPP) Rp3.700/kg. (Metrotvnews, 11/4/2016)
Sebenarnya bukan karena Bulog kurang duit untuk menahan gabah petani tidak melorot dari HPP. Melainkan, karena Bulog fasih soal anomali harga beras, jadi tidak buru-buru mengatrol naik harga gabah petani saat jatuh.
Anomali itu, jika harga gabah petani naik sedikit saja, harga beras di pasar melonjak jauh tinggi secara tidak rasional. Sebaliknya, saat harga gabah petani anjlok amat dalam, harga beras di pasar hanya turun tipis sekali.
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) ini contoh disparitas perubahan harga dalam anomali itu. Pada Maret 2016, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani turun 9,76% dibanding dengan Februari 2016. Harga beras di tingkat penggilingan pada periode sama hanya turun 1,84%, di pedagang grosir hanya turun 0,44%, dan di tingkat pedagang eceran hanya turun 0,56%.
Dilematisnya, anomali harga beras itu tidak terlepas dari fungsi Bulog. Pertama, Bulog wajib menjaga harga beras tetap murah agar gaji buruh yang rendah bisa bertahan sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Kedua, dengan menekan harga beras tetap rendah, inflasi sebagai fundamental ekonomi nasional terkendali. Penguasa nyaman dan bangga jika terjadi deflasi, seperti ketika harga gabah anjlok. Karena itu, Bulog harus menjaga kenyamanan hati penguasa dalam suasana deflasi tersebut. Bulog tidak harus buru-buru menyerap maksimal gabah petani pada HPP.
Dilema itu yang jadi penyebab dari zaman ke zaman, siapa pun penguasanya, tak bisa mengatasi anjloknya harga gabah petani saat panen raya. Dan itu bukan karena Bulog tak mampu menyerap maksimal gabah petani pada HPP, melainkan karena fungsi eksistensialnya, menekan inflasi dan menjaga harga beras tetap murah, sebagai ekspresi naluriahnya.
Itu menunjukkan mata rantai tata niaga beras yang panjang sebagai penyebab anomali harga beras, sebenarnya hanya kambing hitam. Si kambing hitam itu dilahirkan oleh dorongan kondisional fungsi eksistensial Bulog. Artinya, mata rantai tata niaga beras yang panjang itu turunan sistemik Bulog—harus ada yang hadir menggantikan Bulog yang selalu datang terlambat menyerap gabah petani. ***
Sebenarnya bukan karena Bulog kurang duit untuk menahan gabah petani tidak melorot dari HPP. Melainkan, karena Bulog fasih soal anomali harga beras, jadi tidak buru-buru mengatrol naik harga gabah petani saat jatuh.
Anomali itu, jika harga gabah petani naik sedikit saja, harga beras di pasar melonjak jauh tinggi secara tidak rasional. Sebaliknya, saat harga gabah petani anjlok amat dalam, harga beras di pasar hanya turun tipis sekali.
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) ini contoh disparitas perubahan harga dalam anomali itu. Pada Maret 2016, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani turun 9,76% dibanding dengan Februari 2016. Harga beras di tingkat penggilingan pada periode sama hanya turun 1,84%, di pedagang grosir hanya turun 0,44%, dan di tingkat pedagang eceran hanya turun 0,56%.
Dilematisnya, anomali harga beras itu tidak terlepas dari fungsi Bulog. Pertama, Bulog wajib menjaga harga beras tetap murah agar gaji buruh yang rendah bisa bertahan sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Kedua, dengan menekan harga beras tetap rendah, inflasi sebagai fundamental ekonomi nasional terkendali. Penguasa nyaman dan bangga jika terjadi deflasi, seperti ketika harga gabah anjlok. Karena itu, Bulog harus menjaga kenyamanan hati penguasa dalam suasana deflasi tersebut. Bulog tidak harus buru-buru menyerap maksimal gabah petani pada HPP.
Dilema itu yang jadi penyebab dari zaman ke zaman, siapa pun penguasanya, tak bisa mengatasi anjloknya harga gabah petani saat panen raya. Dan itu bukan karena Bulog tak mampu menyerap maksimal gabah petani pada HPP, melainkan karena fungsi eksistensialnya, menekan inflasi dan menjaga harga beras tetap murah, sebagai ekspresi naluriahnya.
Itu menunjukkan mata rantai tata niaga beras yang panjang sebagai penyebab anomali harga beras, sebenarnya hanya kambing hitam. Si kambing hitam itu dilahirkan oleh dorongan kondisional fungsi eksistensial Bulog. Artinya, mata rantai tata niaga beras yang panjang itu turunan sistemik Bulog—harus ada yang hadir menggantikan Bulog yang selalu datang terlambat menyerap gabah petani. ***
0 komentar:
Posting Komentar