HASIL autopsi tim dokter forensik dari Komite Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah terhadap jenazah terduga teroris Siyono asal Klaten, Jawa Tengah, menyimpulkan Siyono mengalami penganiayaan sebelum meninggal. Jenazahnya juga tidak menunjukkan tanda-tanda bekas perlawanan (Kompas, 12/4/2016).
"Tidak ditemukan upaya perlawanan dari Siyono. Kondisi otak juga baik. Namun, rusuk di dekat jantung dan tulang dada patah hingga berakibat fatal pada Siyono," kata anggota Komnas HAM, Siane Indriani, mengumumkan hasil autopsi tersebut di Jakarta, Senin (11/4/2016).
Siyono (35) ditangkap Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Antiteror Polri pada Selasa, 8 Maret 2016, usai salat magrib berjemaah di masjid dekat rumahnya, Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, dalam kondisi sehat. Beberapa hari kemudian, jasadnya diantar polisi pulang ke rumahnya sudah jadi jenazah.
Sebelumnya, Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno menyatakan dari pemeriksaan awal, penangkapan dan pemeriksaan terhadap Siyono sudah dilakukan sesuai dengan prosedur operasi standar yang berlaku oleh Densus 88.
Kekerasan, lanjut Dwi, terjadi ketika petugas membuka borgol Siyono guna menunjukkan lokasi barang bukti di wilayah Prambanan, Yogyakarta. Saat borgol dilepas, Siyono menyerang anggota Densus 88 sehingga terjadi perkelahian yang menyebabkan Siyono tewas karena pendarahan di bagian kepala (Kompas, 2/4/2016).
Namun, hasil autopsi dokter forensik menyebut kematian Siyono akibat tulang dada patah ke arah jantung. Menurut Siane, memang ada terdapat luka di bagian kepala akibat benturan, tapi tidak sampai mengakibatkan kematian dan pendarahan hebat (MI, 12/4/2016).
Keterangan yang dibeberkan Muhammadiyah dan Komnas HAM itu dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan kebenaran di tengah ketidakjelasan terkait kematian Siyono.
Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyatakan pihaknya tidak mempermasalahkan Densus 88 menduga seseorang sebagai teroris. "Kami mempermasalahkan kematian korban serta perlakuan kemanusiaan dan keadaban yang seharusnya dilakukan aparat dalam menangani kasus terorisme," ujarnya.
Bagaimanapun, hasil autopsi Siyono ini bisa menjadi bahan introspeksi bahwa Densus 88 juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Tugas Densus 88 Antiteror itu jelas untuk melindungi setiap manusia dari kekejian teroris sehingga tidak layak jika malah bertindak sekeji teroris itu sendiri. ***
"Tidak ditemukan upaya perlawanan dari Siyono. Kondisi otak juga baik. Namun, rusuk di dekat jantung dan tulang dada patah hingga berakibat fatal pada Siyono," kata anggota Komnas HAM, Siane Indriani, mengumumkan hasil autopsi tersebut di Jakarta, Senin (11/4/2016).
Siyono (35) ditangkap Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Antiteror Polri pada Selasa, 8 Maret 2016, usai salat magrib berjemaah di masjid dekat rumahnya, Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, dalam kondisi sehat. Beberapa hari kemudian, jasadnya diantar polisi pulang ke rumahnya sudah jadi jenazah.
Sebelumnya, Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno menyatakan dari pemeriksaan awal, penangkapan dan pemeriksaan terhadap Siyono sudah dilakukan sesuai dengan prosedur operasi standar yang berlaku oleh Densus 88.
Kekerasan, lanjut Dwi, terjadi ketika petugas membuka borgol Siyono guna menunjukkan lokasi barang bukti di wilayah Prambanan, Yogyakarta. Saat borgol dilepas, Siyono menyerang anggota Densus 88 sehingga terjadi perkelahian yang menyebabkan Siyono tewas karena pendarahan di bagian kepala (Kompas, 2/4/2016).
Namun, hasil autopsi dokter forensik menyebut kematian Siyono akibat tulang dada patah ke arah jantung. Menurut Siane, memang ada terdapat luka di bagian kepala akibat benturan, tapi tidak sampai mengakibatkan kematian dan pendarahan hebat (MI, 12/4/2016).
Keterangan yang dibeberkan Muhammadiyah dan Komnas HAM itu dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan kebenaran di tengah ketidakjelasan terkait kematian Siyono.
Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyatakan pihaknya tidak mempermasalahkan Densus 88 menduga seseorang sebagai teroris. "Kami mempermasalahkan kematian korban serta perlakuan kemanusiaan dan keadaban yang seharusnya dilakukan aparat dalam menangani kasus terorisme," ujarnya.
Bagaimanapun, hasil autopsi Siyono ini bisa menjadi bahan introspeksi bahwa Densus 88 juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Tugas Densus 88 Antiteror itu jelas untuk melindungi setiap manusia dari kekejian teroris sehingga tidak layak jika malah bertindak sekeji teroris itu sendiri. ***
0 komentar:
Posting Komentar