DALAM penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) premium dan solar yang hanya turun Rp500/liter mulai 1 April 2016, pemerintah tidak konsisten dengan janji untuk menetapkan sebesar rata-rata harga tiga bulan sebelumnya, seperti pada awal 2016. Kalau konsisten pada janji tersebut, turunnya harga BBM bisa lebih besar lagi.
Tidak disesuaikan pada rata-rata harga tiga bulan terakhir, juga harga keekonomiannya, menurut Said Didu, mantan Sekretaris Menteri BUMN yang mengikuti proses penetapan harga BBM terakhir, karena menghindari terjadinya penaikan lonjakan harga barang yang signifikan pada bulan puasa dan Lebaran (Metrotvnews, 30/3/2016).
Maksudnya, karena tren harga minyak dunia kembali naik dan kini sudah di kisaran 40 dolar AS per barel. Kalau awal Juli nanti pola itu dipakai dan harga BBM naik, bisa menyulut lonjakan signifikan harga barang. Lebih lagi, kenaikannya simultan akibat puasa dan Lebaran, beban masyarakat akan terlalu berat.
Menurut Said Didu, itu ditempuh pemerintah karena ada kebiasaan buruk di masyarakat: kalau harga BBM naik, harga barang melonjak melebihi rasionya; kalau harga BBM turun, tidak serta-merta diikuti penurunan harga barang.
Langkah itu mencerminkan pemerintah cukup bijaksana mengantisipasi beban rakyat ke depan. Namun, dilihat dari tindakan pemerintah mengingkari janjinya sendiri, amatlah buruk bagi pembangunan moral masyarakat. Pengingkaran janji bukan saja kontraproduktif dengan program revolusi mental yang digagas pemerintah, malah bertentangan dan menjadi contoh buruk bagi masyarakat.
Penetapan harga BBM yang masih lebih tinggi dari harga keekonomiannya itu, menurut Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, sungguh aneh. Sebab, harga premium oktan 88 di Indonesia lebih mahal dari oktan 92 dan 94 di Malaysia dan Amerika.
Menurut hitungan KSPI, kata Said Iqbal, harga premium semestinya turun jadi Rp5.000/liter dan solar Rp4.500/liter sehingga biaya transportasi, sewa rumah, dan harga kebutuhan pokok turun sekitar 15%—20%.
Artinya, penurunan pada harga keekonomian BBM akan meningkatkan daya beli buruh dan masyarakat, meningkatkan konsumsi domestik, dan secara bersamaan pertumbuhan ekonomi. Itu, kata Said Iqbal, bisa mencegah gelombang PHK lanjutan periode Januari—Maret 2016 yang sudah 22.680 orang.
Dengan penetapan harga BBM tidak konsisten pada janji dan jauh di atas harga keekonomian itu, pemerintah merugi simultan: moral dan daya beli. ***
Maksudnya, karena tren harga minyak dunia kembali naik dan kini sudah di kisaran 40 dolar AS per barel. Kalau awal Juli nanti pola itu dipakai dan harga BBM naik, bisa menyulut lonjakan signifikan harga barang. Lebih lagi, kenaikannya simultan akibat puasa dan Lebaran, beban masyarakat akan terlalu berat.
Menurut Said Didu, itu ditempuh pemerintah karena ada kebiasaan buruk di masyarakat: kalau harga BBM naik, harga barang melonjak melebihi rasionya; kalau harga BBM turun, tidak serta-merta diikuti penurunan harga barang.
Langkah itu mencerminkan pemerintah cukup bijaksana mengantisipasi beban rakyat ke depan. Namun, dilihat dari tindakan pemerintah mengingkari janjinya sendiri, amatlah buruk bagi pembangunan moral masyarakat. Pengingkaran janji bukan saja kontraproduktif dengan program revolusi mental yang digagas pemerintah, malah bertentangan dan menjadi contoh buruk bagi masyarakat.
Penetapan harga BBM yang masih lebih tinggi dari harga keekonomiannya itu, menurut Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, sungguh aneh. Sebab, harga premium oktan 88 di Indonesia lebih mahal dari oktan 92 dan 94 di Malaysia dan Amerika.
Menurut hitungan KSPI, kata Said Iqbal, harga premium semestinya turun jadi Rp5.000/liter dan solar Rp4.500/liter sehingga biaya transportasi, sewa rumah, dan harga kebutuhan pokok turun sekitar 15%—20%.
Artinya, penurunan pada harga keekonomian BBM akan meningkatkan daya beli buruh dan masyarakat, meningkatkan konsumsi domestik, dan secara bersamaan pertumbuhan ekonomi. Itu, kata Said Iqbal, bisa mencegah gelombang PHK lanjutan periode Januari—Maret 2016 yang sudah 22.680 orang.
Dengan penetapan harga BBM tidak konsisten pada janji dan jauh di atas harga keekonomian itu, pemerintah merugi simultan: moral dan daya beli. ***
0 komentar:
Posting Komentar