Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

HET Beras Rugikan Petani Lampung!

PERMENDAG Nomor 47/2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras menetapkan Rp9.000/kg, dengan harga acuan pembelian di petani Rp7.400/kg. Harga acuan gabah kering panen pembelian di petani Rp3.700/kg dan gabah kering giling Rp4.600/kg.
Pemberlakuan HET beras ini merugikan petani Lampung yang dengan kualitas produksi amat baik punya tradisi harga gabah hasil panennya lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP).
Selain itu, dengan HPP baru ini mungkin hanya bisa dikerjakan oleh Bulog yang menggunakan uang pemerintah dan pegawainya digaji pemerintah. Sedang pengusaha swasta yang memakai uang bank dan pekerja berupah minimum, belum lagi transpor dan sebagainya, mungkin berat melakukannya.
Ada dua hal yang menyebabkan dibuatnya HET beras. Pertama, kontribusi harga beras pada kemiskinan mencapai 20,11% di kota dan 26,46% di desa. Ini menyebabkan jumlah orang miskin bertambah 40 ribu orang selama Jokowi-JK berkuasa, yakni dari 27,73 juta jiwa pada September 2014 (Jokowi-JK dilantik 20 Oktober 2014) menjadi 27,77 juta jiwa pada Maret 2017.
Kedua, penggerebekan gudang beras swasta di Bekasi menemukan beras merek Maknyus (di pasar Rp13.700/kg) dan beras Cap Ayam Jago (Rp20.400/kg) serta beras IR64 sehingga dituduh mengoplos beras IR64 jadi beras premium mahal itu.
Gagalnya mengentaskan kemiskinan mestinya tidak sepenuhnya dibebankan pada kontribusi harga beras pada kemiskinan, tapi pada ketiadaan usaha pemerintah meningkatkan pendapatan permanen kaum miskin. Pemerintah hanya fokus memberi charity paket Kartu Keluarga Sejahtera (KKS terdiri dari PKH, KIP, dan KIS) sekitar Rp75 ribu/kapita/bulan dan rastra yang ternyata masih kurang buat ganjal konsumsi keluar dari garis kemiskinan.
Dengan HET beras yang membuat tak mungkin petani menjual gabahnya di atas HPP jelas menindas mereka karena tidak diberi peluang sedikit pun untuk mengupayakan nilai tambah dari produksinya melalui mekanisme pasar. Ini jelas tindakan yang kejam bagi petani.
Pasar pun menjadi statis dengan harga paksaan karena hukum pasar berdasar faktor penawaran dan permintaan dengan variasi produk tak berlaku lagi. Padahal, variasi permintaan tinggi dengan 60% penduduk Indonesia menurut Bank Dunia telah menjadi kelas menengah. Juga, mematikan sistem perdagangan yang mempekerjakan banyak orang.
Lebih buruk lagi kalau pedagang yang membeli gabah petani dengan harga lebih tinggi dari HPP dan menjual di atas HET ditangkap satgas pangan! ***

0 komentar: