Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Stigma Orang Ormas Terlarang!

KETIKA Perppu No. 2/2017 diamalkan sehingga ada organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dibubarkan, tidak terelakkan akan ada orang yang mendapat stigma orang ormas terlarang. Jika tidak diantisipasi sejak awal oleh pemerintah dan masyarakat, stigma itu bisa negatif, membuat penyandangnya mengalami diskriminasi sosial, seperti dialami orang partai terlarang.
Hal itu tidak boleh terjadi. Pembubaran sebuah ormas tidak harus berdampak negatif terhadap para anggota dan pengurus ormas yang secara personal tidak melakukan pelanggaran hukum maupun norma adab-susila, sehingga orang-orang tersebut tidak mengalami cacat hukum maupun cacat norma.
Adapun terhadap anggota dan pengurus ormas yang melakukan tindakan melawan hukum, diproses sebagaimana mestinya tanpa menggebyah uyah stigma negatif terhadap semua anggota dan pengurus ormas bersangkutan sebagai orang-orang bersalah.
Stigma negatif yang harus dihindari itu bukan hanya diskriminasi sebagai orang-orang yang cacat hukum maupun cacat norma, melainkan juga tidak memperlakukan mereka sebagai pesakitan, orang-orang yang perlu dikasihani. Namun, mereka tetap dipandang dan diperlakukan sebagai warga negara biasa yang bermartabat dan terhormat dalam status sosialnya maupun administrasi kewargaannya.
Hal itu juga berlaku pada lingkup keluarga dan keturunannya. Jangan sampai, dengan stigma itu anak/menantu/adik/ponakan di-blacklist tidak bisa melamar jadi PNS atau TNI. Sebab, pembubaran ormas merupakan kebijakan pemerintah, menjadi kewajiban yang harus dilakukan pemerintah terkait dampak dan risiko kebijakan tersebut.
Harits Abu Ulya, peneliti dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), mengatakan, "Paling tidak, ada kewajiban untuk melindungi sekaligus membina mantan anggota, kader, dan pimpinan ormas yang dibubarkan." (Kompas.com, 13/7/2017)
"Perlindungan mencakup penghormatan atas harga diri dan kewibawaan, pencegahan terhadap tindak diskriminatif, dan penerimaan sebagai warga negara yang tidak memiliki cacat hukum dan norma," kata Harits.
Dengan demikian, kebiasaan penguasa otoriter mengobrak-abrik ormas kelilip rezim dengan meninggalkan puing-puing harga diri pengikutnya, bukan zamannya lagi. Apalagi, kalau ormas yang dibubarkan punya lembaga sosial dan pendidikan, dari panti hingga sekolah, lembaga-lembaga tersebut tak boleh ikut dihancurkan. Sebaliknya, menjadi kewajiban pemerintah untuk melanjutkan pembinaannya menjadi lebih baik lagi. ***

0 komentar: