SRI Sultan Hamengkubuwono X selaku gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menolak pembangunan jalan tol di wilayahnya sesuai dengan rencana Pemerintah Pusat. Dirjen Bina Marga Kementerian PU-Pera Ari Setiadi Moerwanto akan mengajak masyarakat dan Sultan berdialog untuk mencari solusi terbaik.
"Kami akan cari solusi. Intinya yang ditolak beliau kan menggunakan lahan yang ada, termasuk Solo—Yogya itu kan yang ditawarkan menggunakan elevated atau di atas, ya," ujar Ari Setiadi (Kompas.com, 16/7/2017).
Selain karena berkurangnya lahan produktif, alasan penolakan Sultan karena pembangunan jalan tol dikhawatirkan mengganggu perekonomian masyarakat. Dengan terbatasnya ruang terbuka di Yogyakarta, tidak memungkinkan bila dibangun jalan bebas hambatan tertutup yang tidak memungkinkan semua orang masuk.
Bagi Sultan, jalan tol punya aspek diskriminatif yang membatasi dan mengganggu kebebasan serta keleluasaan masyarakat beraktivitas. Hal itu bisa mengganggu kehidupan ekonomi rakyat Yogyakarta yang mayoritas kegiatan dan usahanya belum menggunakan kendaraan berkecepatan tinggi yang butuh fasilitas tol. Jadi, jalan tol hanya memenuhi kebutuhan minoritas dengan membatasi dan mengganggu gerak kehidupan yang mayoritas.
Secara umum kondisi jalan dan lalu lintas di Kota Yogya maupun wilayah Provinsi DIY relatif memadai. Kemacetan di pusat kota telah terurai oleh jalan lingkar luar utara dan selatan. Lalu lintas agak tersendat pagi dan petang justru di kawasan pinggiran kota seperti selepas lingkar luar utara ke arah timur hingga Prambanan. Setelah di Prambanan, sebagian kendaraan belok menuju Piyungan—Wonosari, arah lanjutan ke Klaten—Solo lancar.
Di luar Kota Yogya, jalan utama lintas desa mayoritas mulus dengan hotmix. Dengan itu, kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan relatif berjalan lancar, dengan mayoritas warga menggunakan sepeda motor.
Artinya, secara umum kondisi jalan dan lalu lintas di wilayah DIY sudah cukup baik, bahkan relatif lebih baik dibanding provinsi lain di Jawa, apalagi luar Jawa. Untuk itu, Sultan tidak mengada-ada justru kalau dibangun jalan tol selain menghabisi lahan produktif, juga mengganggu jaringan ekonomi rakyat yang sudah terkoneksi baik hingga antardesa.
Oleh karena itu, untuk DIY yang jalannya dari kota ke desa-desa telah memadai tak perlu dipaksa membangun jalan tol. Penolakan Sultan bisa dipahami supaya proyek jalan itu dialihkan ke daerah yang lebih membutuhkan, terutama di luar Jawa. ***
Selain karena berkurangnya lahan produktif, alasan penolakan Sultan karena pembangunan jalan tol dikhawatirkan mengganggu perekonomian masyarakat. Dengan terbatasnya ruang terbuka di Yogyakarta, tidak memungkinkan bila dibangun jalan bebas hambatan tertutup yang tidak memungkinkan semua orang masuk.
Bagi Sultan, jalan tol punya aspek diskriminatif yang membatasi dan mengganggu kebebasan serta keleluasaan masyarakat beraktivitas. Hal itu bisa mengganggu kehidupan ekonomi rakyat Yogyakarta yang mayoritas kegiatan dan usahanya belum menggunakan kendaraan berkecepatan tinggi yang butuh fasilitas tol. Jadi, jalan tol hanya memenuhi kebutuhan minoritas dengan membatasi dan mengganggu gerak kehidupan yang mayoritas.
Secara umum kondisi jalan dan lalu lintas di Kota Yogya maupun wilayah Provinsi DIY relatif memadai. Kemacetan di pusat kota telah terurai oleh jalan lingkar luar utara dan selatan. Lalu lintas agak tersendat pagi dan petang justru di kawasan pinggiran kota seperti selepas lingkar luar utara ke arah timur hingga Prambanan. Setelah di Prambanan, sebagian kendaraan belok menuju Piyungan—Wonosari, arah lanjutan ke Klaten—Solo lancar.
Di luar Kota Yogya, jalan utama lintas desa mayoritas mulus dengan hotmix. Dengan itu, kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan relatif berjalan lancar, dengan mayoritas warga menggunakan sepeda motor.
Artinya, secara umum kondisi jalan dan lalu lintas di wilayah DIY sudah cukup baik, bahkan relatif lebih baik dibanding provinsi lain di Jawa, apalagi luar Jawa. Untuk itu, Sultan tidak mengada-ada justru kalau dibangun jalan tol selain menghabisi lahan produktif, juga mengganggu jaringan ekonomi rakyat yang sudah terkoneksi baik hingga antardesa.
Oleh karena itu, untuk DIY yang jalannya dari kota ke desa-desa telah memadai tak perlu dipaksa membangun jalan tol. Penolakan Sultan bisa dipahami supaya proyek jalan itu dialihkan ke daerah yang lebih membutuhkan, terutama di luar Jawa. ***
0 komentar:
Posting Komentar