http://www.lampost.co/berita-konsekuensi-aklamasi-uu-pemilu
(Lampost.co)--DPR akhirnya pada Jumat dini hari mengesahkan UU Pemilu
secara aklamasi oleh enam fraksi yang memilih opsi A, setelah empat
fraksi pemilih opsi B walk out. Opsi A yang disahkan menjadi UU itu berisi presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% suara nasional.
Dengan
setiap calon presiden harus didukung minimal 25% suara pemilih, berarti
harus lebih meski sedikit dari 25%, konsekuensi pertama UU tersebut
adalah paling banyak bisa maju ikut Pilpres 2019 sebanyak tiga calon.
Karena, pasti sukar untuk membuat empat calon dengan semuanya pas 25%.
Apalagi
kalau koalisi enam parpol pendukung opsi A—PDIP, NasDem, PKB, Hanura,
PPP, dan Golkar—lanjut berkoalisi dalam Pilpres 2019, hingga jumlah
suara pemilihnya bisa di atas 50%, sisanya tak cukup lagi dibuat
mengusung dua pasang calon lain. Sebab itu, tak terelakkan yang akan
bertarung dalam Pilpres 2019 cuma ada dua pasang calon.
Pada
realitasnya, empat parpol pendukung opsi B—Gerindra, PKS, Demokrat, dan
PAN—memang sukar untuk mengusung dua pasang calon, sesuai dengan
perolehan suara nasionalnya. Untuk dua partai mengusung satu calon hanya
bisa dilakukan Gerindra jika berkoalisi dengan Demokrat. Tapi kalau itu
dilakukan, PKS dan PAN tak cukup untuk mengusung pasangan calon
tersendiri.
Tapi untuk koalisi Gerindra-Demokrat juga sukar karena
keduanya punya calon presiden masing-masing, yang salah satunya sukar
untuk diturunkan jadi wakil presiden. Sebab, Demokrat misalnya, sudah
sejak jauh hari mendeklarasikan AHY sebagai calon presiden. Selain itu,
kedua calon sama-sama mantan militer, mungkin kurang pas untuk kondisi
pemilih Indonesia yang masih gandrung civil society dewasa ini.
Konsekuensi tersebut membuat keempat partai opsi B menolak UU Pemilu yang telah disahkan DPR saat mereka tinggal walk out, dengan memperjuangkan opsi B, presidential threshold 0%, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Peluang keberhasilan perjuangan ini 50-50.
Peluang 50 yang bisa mengalahkan mereka adalah pengalaman dua pilpres sebelumnya, 2009 dan 2014, telah menggunakan presidential threshold
20—25%. Pengalaman yang berulang-ulang dalam praktik demokrasi tersebut
bisa disublimasikan menjadi konvensi, yakni praktik dalam kehidupan
bernegara bangsa yang diulang-ulang sehingga diakui sebagai konstitusi
yang tak tertulis.
Inggris yang tak memiliki konstitusi tertulis
menjadikan konvensi sebagai konstitusinya. Dan konstitusi Indonesia
mengenal prinsip konvensi. Namun, hal itu tergantung MK.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Senin, 24 Juli 2017
Konsekuensi Aklamasi UU Pemilu!
Label:
Politik
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar