GENERASI millennial yang dinamis, kritis, dan antikemapanan tak segan mempertajam perbedaan masyarakat sebagai karakter media sosial (medsos) dewasa ini, tak lepas dari tren global menguatnya politik populisme sejak Trump menang. Karena itu, kalau Anies Baswedan mengangkat kata "pribumi" dalam pidato politik pertamanya, itu tak lepas dari tren populisme global yang telah membuat dirinya memenangi Pilkada DKI.
Artinya, pendekatan politik populisme sebagai tren global adalah realitas yang tak bisa dielakkan. Apalagi, di Indonesia yang sejak zaman Clifford Geertz sudah terbiasa dengan pemilahan tajam struktur masyarakat abangan, santri, dan priayi dalam realitas politik. Tak ayal, sifat dan sikap generasi millennial bukanlah ahistoris, tapi justru kembali ke ekspresi asali masyarakatnya.
Memang, ekspresi politik sedemikian mundur jauh ke belakang, setidaknya ke era penelitian Geertz 1950-an. Konon lagi Anies, kalau benar yang ia maksud pribumi itu di zaman kolonial Belanda, mundurnya lebih jauh lagi. Padahal, sejak Geertz saja terminologi populisme dalam politik Indonesia sudah berkembang luas, semisal "wong cilik", "putra daerah" (dalam pilkada), dan lebih banyak lagi dalam kaitannya dengan primordialisme kesukuan.
Namun, meski Anies berusaha menyelubungi "pribumi" dari relevansi kekiniannya dengan menarik jauh ke zaman Belanda, nyatanya hanya beberapa hari setelah itu ia berkuasa tak mampu lagi menutupi praktik politik populisme dirinya. Yakni, ketika pengadilan memenangkan gugatan warga korban penggusuran Bukit Duri, Anies secara tegas menyatakan Pemprov DKI tidak mengajukan naik banding.
Politik populisme dalam wujudnya yang paling nyata, prorakyat itu, jelas amat kuat mengikat simpati dan dukungan rakyat pada suatu kepemimpinan. Sang pemimpin pun akan memuncak popularitasnya, sehingga jaminan masa depan kekuasaannya juga semakin kuat.
Terpenting dicatat, politik populisme prorakyat seperti itu tidak ada salahnya. Asalkan, di sisi lain tidak diwarnai diskriminasi seperti dilakukan Trump. Kelompok di luar ras dan agama penguasa dibatasi dalam banyak hal, bahkan dimusuhi.
Populisme model Trump yang diskriminatif amat berbahaya jika diterapkan di Indonesia yang sangat heterogen, karena bisa menyulut perpecahan bangsa. Namun, jika diamalkan dengan fair, tidak membatasi atau merugikan kelompok lain, heterogenitas itu sendiri bisa melahirkan banyak jenis populisme untuk bersaing sehat dalam demokrasi. ***
Memang, ekspresi politik sedemikian mundur jauh ke belakang, setidaknya ke era penelitian Geertz 1950-an. Konon lagi Anies, kalau benar yang ia maksud pribumi itu di zaman kolonial Belanda, mundurnya lebih jauh lagi. Padahal, sejak Geertz saja terminologi populisme dalam politik Indonesia sudah berkembang luas, semisal "wong cilik", "putra daerah" (dalam pilkada), dan lebih banyak lagi dalam kaitannya dengan primordialisme kesukuan.
Namun, meski Anies berusaha menyelubungi "pribumi" dari relevansi kekiniannya dengan menarik jauh ke zaman Belanda, nyatanya hanya beberapa hari setelah itu ia berkuasa tak mampu lagi menutupi praktik politik populisme dirinya. Yakni, ketika pengadilan memenangkan gugatan warga korban penggusuran Bukit Duri, Anies secara tegas menyatakan Pemprov DKI tidak mengajukan naik banding.
Politik populisme dalam wujudnya yang paling nyata, prorakyat itu, jelas amat kuat mengikat simpati dan dukungan rakyat pada suatu kepemimpinan. Sang pemimpin pun akan memuncak popularitasnya, sehingga jaminan masa depan kekuasaannya juga semakin kuat.
Terpenting dicatat, politik populisme prorakyat seperti itu tidak ada salahnya. Asalkan, di sisi lain tidak diwarnai diskriminasi seperti dilakukan Trump. Kelompok di luar ras dan agama penguasa dibatasi dalam banyak hal, bahkan dimusuhi.
Populisme model Trump yang diskriminatif amat berbahaya jika diterapkan di Indonesia yang sangat heterogen, karena bisa menyulut perpecahan bangsa. Namun, jika diamalkan dengan fair, tidak membatasi atau merugikan kelompok lain, heterogenitas itu sendiri bisa melahirkan banyak jenis populisme untuk bersaing sehat dalam demokrasi. ***