LOLOSNYA tersangka korupsi dari jerat hukum lewat praperadilan rupanya jadi perhatian serius Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua institusi penegak supremasi hukum itu bereaksi cepat terkait putusan praperadilan yang memenangkan tersangka korupsi.
MK memproses cepat uji materi terkait alat bukti yang pernah dipakai, yang oleh hakim praperadilan dinyatakan tak boleh dipakai lagi. Lewat putusan uji materi teregister nomor perkara 42/PJU-XV/2017, Selasa (10/10/2017), MK memastikan penyidik bisa menggunakan alat bukti yang telah dipakai pada perkara sebelumnya untuk menjerat tersangka yang memenangkan praperadilan.
Juga usai putusan praperadilan terakhir, juru bicara MA, Abdullah, berulang menyatakan esensi dari praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri. Ia sebut Pasal 2 Ayat (3) Peraturan MA Nomor 4/2016, bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.
Namun, menurut MK, alat bukti tersebut harus disempurnakan secara substansial dan bukan sebagai alat bukti yang sifatnya formalitas semata sehingga dapat dikatakan sebagai alat bukti baru (Kompas.com, 10/10/2017).
Praperadilan, menurut MK, hanya berkenaan dengan prosedur tata cara penanganan tersangka yang diduga kuat melakukan tindak pidana. Langkah hukum ini sebagai fungsi check and balances untuk membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia dalam penetapan seseorang sebagai tersangka.
Namun, praperadilan tidak serta-merta menutup peluang bagi penyidik untuk kembali melakukan pendalaman kasus dan menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan baru agar orang yang terindikasi kuat terlibat perkara tersebut kembali ditetapkan sebagai tersangka.
Pada prinsipnya, kata MK, praperadilan bertujuan menempatkan kedudukan sama di hadapan hukum dengan cara menegakkan suatu mekanisme kontrol terhadap adanya kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum.
Dengan kejelasan garis MA dan MK terkait praperadilan itu, masyarakat bisa melihat tersangka yang menang praperadilan itu hanya menunda sementara penjeblosan dirinya ke tahanan. Namun, hal itu mungkin tak berlaku jika serangan balik ke penegak hukum bisa mencopot aparat hukum seperti dialami Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto. ***
Juga usai putusan praperadilan terakhir, juru bicara MA, Abdullah, berulang menyatakan esensi dari praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri. Ia sebut Pasal 2 Ayat (3) Peraturan MA Nomor 4/2016, bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.
Namun, menurut MK, alat bukti tersebut harus disempurnakan secara substansial dan bukan sebagai alat bukti yang sifatnya formalitas semata sehingga dapat dikatakan sebagai alat bukti baru (Kompas.com, 10/10/2017).
Praperadilan, menurut MK, hanya berkenaan dengan prosedur tata cara penanganan tersangka yang diduga kuat melakukan tindak pidana. Langkah hukum ini sebagai fungsi check and balances untuk membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia dalam penetapan seseorang sebagai tersangka.
Namun, praperadilan tidak serta-merta menutup peluang bagi penyidik untuk kembali melakukan pendalaman kasus dan menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan baru agar orang yang terindikasi kuat terlibat perkara tersebut kembali ditetapkan sebagai tersangka.
Pada prinsipnya, kata MK, praperadilan bertujuan menempatkan kedudukan sama di hadapan hukum dengan cara menegakkan suatu mekanisme kontrol terhadap adanya kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum.
Dengan kejelasan garis MA dan MK terkait praperadilan itu, masyarakat bisa melihat tersangka yang menang praperadilan itu hanya menunda sementara penjeblosan dirinya ke tahanan. Namun, hal itu mungkin tak berlaku jika serangan balik ke penegak hukum bisa mencopot aparat hukum seperti dialami Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto. ***
0 komentar:
Posting Komentar