INDONESIA termasuk 17 negara penyandang masalah gizi serius, menurut Global Nutrition Report 2014. Akibatnya, 2015 sebanyak 29,6% bayi lahir stunting, tubuh terlalu pendek akibat kurang gizi.
Di Lampung bahkan jauh lebih buruk dari rata-rata nasional itu, yakni 42%. Namun, itu masih lebih baik dari Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Aceh, yakni 44%.
Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi. Namun, guru besar Ilmu Gizi IPB, Hardinsyah, menolak kemiskinan sebagai biang keladinya. Sebab, angka kemiskinan nasional BPS hanya 10,64% pada Maret 2017, sedangkan angka stunting tiga kali lipatnya (CNNI, 8/10/2017).
Kemungkinannya banyak orang yang tidak miskin, tetapi de facto kurang gizi. Banyak yang tidak miskin, tetapi kurang gizi, bisa jadi karena pola hidup sederhana dengan konsumsi yang amat hemat. Hal itu terjadi karena berkat amat hemat dan hidup sederhana itulah mereka bisa mentas dari kemiskinan, sehingga setelah kaya mereka tetap hidup hemat untuk bertahan kaya. Jadi, untuk sebagian bisa disebut stunting akibat kultur hidup hemat, konsumsinya asal bisa hidup.
Lain hal kelompok yang nyaris miskin, mereka kurang gizi memang akibat tidak berdaya karena pada dasarnya mereka juga miskin, tetapi tidak dihitung sebagai orang miskin. Ini karena garis kemiskinan yang diterapkan BPS mungkin terlalu rendah, sehingga justru lebih banyak orang yang konsumsinya sedikit di atas garis kemiskinan tidak masuk bilangan orang miskin, padahal konsumsinya masih belum cukup gizi.
Itu terlihat pada garis kemiskinan Maret 2017 pada konsumsi per kapita Rp374,478, kalau kurs per dolar AS Rp13.300, konsumsi per bulan itu cuma jadi 28,156 dolar AS, atau masih di bawah 1 dolar per hari, jauh dari garis kemiskinan Bank Dunia, konsumsi 2 dolar AS per orang per hari.
Dari gambaran itu mungkin lebih tepat kalau garis kemiskinan bukan lagi pakai jumlah konsumsi per kapita per bulan, melainkan berapa besar persentase kelahiran bayi stunting. Atau, kalau mau pakai angka konsumsi juga, dihitung pada tingkat konsumsi berapa sebenarnya bayi-bayi tidak lahir stunting lagi. Mungkin garis kemiskinan ini lebih adil bagi generasi baru, lahir tidak terlalu pendek lagi.
Untuk itu, secara kultural perlu ditumbuhkan dalam masyarakat kebiasaan menetapkan standar tinggi untuk setiap capaian dalam kehidupan. Kalau tidak dibiasakan berjuang mencapai standar tinggi, sehingga selalu puas dengan standar rendah, masyarakatnya akan selalu tertinggal dan kalah bersaing. ***
Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi. Namun, guru besar Ilmu Gizi IPB, Hardinsyah, menolak kemiskinan sebagai biang keladinya. Sebab, angka kemiskinan nasional BPS hanya 10,64% pada Maret 2017, sedangkan angka stunting tiga kali lipatnya (CNNI, 8/10/2017).
Kemungkinannya banyak orang yang tidak miskin, tetapi de facto kurang gizi. Banyak yang tidak miskin, tetapi kurang gizi, bisa jadi karena pola hidup sederhana dengan konsumsi yang amat hemat. Hal itu terjadi karena berkat amat hemat dan hidup sederhana itulah mereka bisa mentas dari kemiskinan, sehingga setelah kaya mereka tetap hidup hemat untuk bertahan kaya. Jadi, untuk sebagian bisa disebut stunting akibat kultur hidup hemat, konsumsinya asal bisa hidup.
Lain hal kelompok yang nyaris miskin, mereka kurang gizi memang akibat tidak berdaya karena pada dasarnya mereka juga miskin, tetapi tidak dihitung sebagai orang miskin. Ini karena garis kemiskinan yang diterapkan BPS mungkin terlalu rendah, sehingga justru lebih banyak orang yang konsumsinya sedikit di atas garis kemiskinan tidak masuk bilangan orang miskin, padahal konsumsinya masih belum cukup gizi.
Itu terlihat pada garis kemiskinan Maret 2017 pada konsumsi per kapita Rp374,478, kalau kurs per dolar AS Rp13.300, konsumsi per bulan itu cuma jadi 28,156 dolar AS, atau masih di bawah 1 dolar per hari, jauh dari garis kemiskinan Bank Dunia, konsumsi 2 dolar AS per orang per hari.
Dari gambaran itu mungkin lebih tepat kalau garis kemiskinan bukan lagi pakai jumlah konsumsi per kapita per bulan, melainkan berapa besar persentase kelahiran bayi stunting. Atau, kalau mau pakai angka konsumsi juga, dihitung pada tingkat konsumsi berapa sebenarnya bayi-bayi tidak lahir stunting lagi. Mungkin garis kemiskinan ini lebih adil bagi generasi baru, lahir tidak terlalu pendek lagi.
Untuk itu, secara kultural perlu ditumbuhkan dalam masyarakat kebiasaan menetapkan standar tinggi untuk setiap capaian dalam kehidupan. Kalau tidak dibiasakan berjuang mencapai standar tinggi, sehingga selalu puas dengan standar rendah, masyarakatnya akan selalu tertinggal dan kalah bersaing. ***
0 komentar:
Posting Komentar