OTORITAS Myanmar menyatakan siap untuk menerima para pengungsi Rohingya yang kembali dari Bangladesh ke Rakhine. Myanmar telah mempersiapkan dua titik di perbatasan Rakhine sebagai pintu masuk memverifikasi para pengungsi.
Kementerian Informasi Myanmar dikutip AFP, Kamis (28/9/1017), menyatakan lewat Facebook, proses verifikasi para pengungsi segera dilakukan di dua titik wilayah Myanmar bagi pengungsi yang kembali lewat jalur darat dan jalur air.
Menteri Urusan Permukiman, Pemulihan Bencana, dan Kesejahteraan Sosial Win Myat Aye memperjelas, "Mereka akan diperiksa di Desa Naguya bagi mereka yang kembali dari jalur air. Setelah proses verifikasi, para pengungsi akan ditempatkan di Desa Dargyizar." (detiknews, 28/9/017).
Desa Dargyizar di wilayah Maungdaw, Rakhine, yang terdampak parah akibat konflik yang pecah mulai 25 Agustus 2017 lalu. Ratusan orang tewas dalam bentrokan antara militer Myanmar dan militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), mengakibatkan minoritas Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Pemerintahan junta militer Myanmar 1982 membuat UU melucuti hak minoritas Rohingya sebagai warga negara meski mereka telah berada di situ sejak negara Arakan Muslim sebelum Abad ke-15. Warga Rohingya hidup dalam penindasan sejak 1784 ketika kerajaan Arakan Muslim diinvasi Kerajaan Burma, lanjut ke masa penjajahan Inggris, Jepang, dan pasca-Perang Dunia II, di bawah junta militer Ne Win sejak 1962.
Penerimaan kembalinya warga Rohingya dari pengungsian itu terkesan hanya pemanis bagi kehadiran tim PBB ke Rakhine. Karena itu, para pengamat HAM pesimistis warga Rohingya yang masih dalam trauma berat kebrutalan militer Myanmar akan memenuhi imbauan pemerintah untuk kembali ke Rakhine.
Lebih lagi dengan proses verifikasi yang diinisiasi Pemerintah Myanmar jelas sukar dipenuhi pengungsi yang meninggalkan desa saat panik oleh serbuan militer. Kebanyakan mereka lari hanya dengan pakaian lekat di badan, sedang surat-surat identitas mereka tertinggal di rumah sudah musnah bersama kampungnya dibakar militer.
Untuk itu, tim PBB sebenarnya tak penting mengunjungi Rakhine yang cuma melihat puing-puing kekejaman militer, tapi justru lebih penting menyadarkan para politikus sipil di Yangoon, utamanya Aung San Suu Kyi yang tengah berkuasa, untuk mengamendemen UU yang menepis hak kewarganegaraan warga Rohingya.
Hanya dengan amendemen UU memulihkan hak warga Rohingya, krisis kemanusiaan akibat diskriminasi di Myanmar tuntas. ***
Menteri Urusan Permukiman, Pemulihan Bencana, dan Kesejahteraan Sosial Win Myat Aye memperjelas, "Mereka akan diperiksa di Desa Naguya bagi mereka yang kembali dari jalur air. Setelah proses verifikasi, para pengungsi akan ditempatkan di Desa Dargyizar." (detiknews, 28/9/017).
Desa Dargyizar di wilayah Maungdaw, Rakhine, yang terdampak parah akibat konflik yang pecah mulai 25 Agustus 2017 lalu. Ratusan orang tewas dalam bentrokan antara militer Myanmar dan militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), mengakibatkan minoritas Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Pemerintahan junta militer Myanmar 1982 membuat UU melucuti hak minoritas Rohingya sebagai warga negara meski mereka telah berada di situ sejak negara Arakan Muslim sebelum Abad ke-15. Warga Rohingya hidup dalam penindasan sejak 1784 ketika kerajaan Arakan Muslim diinvasi Kerajaan Burma, lanjut ke masa penjajahan Inggris, Jepang, dan pasca-Perang Dunia II, di bawah junta militer Ne Win sejak 1962.
Penerimaan kembalinya warga Rohingya dari pengungsian itu terkesan hanya pemanis bagi kehadiran tim PBB ke Rakhine. Karena itu, para pengamat HAM pesimistis warga Rohingya yang masih dalam trauma berat kebrutalan militer Myanmar akan memenuhi imbauan pemerintah untuk kembali ke Rakhine.
Lebih lagi dengan proses verifikasi yang diinisiasi Pemerintah Myanmar jelas sukar dipenuhi pengungsi yang meninggalkan desa saat panik oleh serbuan militer. Kebanyakan mereka lari hanya dengan pakaian lekat di badan, sedang surat-surat identitas mereka tertinggal di rumah sudah musnah bersama kampungnya dibakar militer.
Untuk itu, tim PBB sebenarnya tak penting mengunjungi Rakhine yang cuma melihat puing-puing kekejaman militer, tapi justru lebih penting menyadarkan para politikus sipil di Yangoon, utamanya Aung San Suu Kyi yang tengah berkuasa, untuk mengamendemen UU yang menepis hak kewarganegaraan warga Rohingya.
Hanya dengan amendemen UU memulihkan hak warga Rohingya, krisis kemanusiaan akibat diskriminasi di Myanmar tuntas. ***
0 komentar:
Posting Komentar