MAHKAMAH Agung (MA) merespons vonis praperadilan kasus Setya Novanto dengan menegaskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berwenang untuk menetapkan kembali Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011—2012.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Andullah mengatakan kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 2 Ayat (3) Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016. "Bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi," ujar Abdullah (Kompas.com, 3/10/2017).
Penetapan status tersangka tersebut, kata Abdullah, bisa diterbitkan setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara. Menurut Abdullah, esensi dari praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri.
Abdullah menyatakan MA sama sekali tidak boleh intervensi terkait putusan praperadilan. Karena itu, apa pun putusan hakim menjadi tanggung jawab mutlak hakim bersangkutan dan tidak ada hubungan dengan ketua pengadilan yang bersangkutan, atau ketua pengadilan tingkat banding, maupun pimpinan MA. "MA menghormati apa yang telah diputuskan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait dengan praperadilan kasus Setya Novanto," ujarnya.
Sebelum Novanto, tiga tersangka lain telah mengalahkan KPK di praperadilan, yakni Komjen Budi Gunawan, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dan mantan Dirjen Pajak Hadi Purmomo.
Di antara tiga kasus tersebut, KPK menetapkan Ilham Sirajuddin kembali sebagai tersangka dan kasusnya maju ke pengadilan. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Februari 2016 memvonis Ilham bersalah dan dijatuhi hukuman pidana 4 tahun penjara.
Contoh kasus itu sejalan dengan penjelasan MA bahwa esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka dan tidak menghilangkan tindak pidananya itu sendiri. Penetapan kembali tersangka itu diatur dalam Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016.
Untuk itu, kalau Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia didukung BEM berbagai kampus demo menekan KPK agar segera menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka kasus KTP-el wajar dan berdasar. Tapi, jika pimpinan Pansus KPK di DPR menuduh gerakan mahasiswa itu dibiayai KPK, jelas mengada-ada. ***
Penetapan status tersangka tersebut, kata Abdullah, bisa diterbitkan setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara. Menurut Abdullah, esensi dari praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri.
Abdullah menyatakan MA sama sekali tidak boleh intervensi terkait putusan praperadilan. Karena itu, apa pun putusan hakim menjadi tanggung jawab mutlak hakim bersangkutan dan tidak ada hubungan dengan ketua pengadilan yang bersangkutan, atau ketua pengadilan tingkat banding, maupun pimpinan MA. "MA menghormati apa yang telah diputuskan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait dengan praperadilan kasus Setya Novanto," ujarnya.
Sebelum Novanto, tiga tersangka lain telah mengalahkan KPK di praperadilan, yakni Komjen Budi Gunawan, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dan mantan Dirjen Pajak Hadi Purmomo.
Di antara tiga kasus tersebut, KPK menetapkan Ilham Sirajuddin kembali sebagai tersangka dan kasusnya maju ke pengadilan. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Februari 2016 memvonis Ilham bersalah dan dijatuhi hukuman pidana 4 tahun penjara.
Contoh kasus itu sejalan dengan penjelasan MA bahwa esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka dan tidak menghilangkan tindak pidananya itu sendiri. Penetapan kembali tersangka itu diatur dalam Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016.
Untuk itu, kalau Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia didukung BEM berbagai kampus demo menekan KPK agar segera menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka kasus KTP-el wajar dan berdasar. Tapi, jika pimpinan Pansus KPK di DPR menuduh gerakan mahasiswa itu dibiayai KPK, jelas mengada-ada. ***
0 komentar:
Posting Komentar