DI antara negara G20, Indonesia peringkat dua terburuk akses sanitasi masyarakatnya. Untuk peringkat paling buruk diduduki India, negara dengan penduduk 1,1 miliar jiwa.
"Indonesia peringkat dua dengan sanitasi terburuk, karena penduduknya mohon maaf masih suka buang air besar sembarangan," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro di Universitas Indonesia, Depok, Jumat (Kompas.com, 6/10/2017).
Bambang menjelaskan banyak sekolah dasar negeri di Indonesia tidak memiliki akses sanitasi dengan baik. Hal ini menyebabkan para siswa (yang rumahnya dekat sekolah) harus pulang ke rumah untuk buang air.
Menurut Bambang, akses sanitasi harus menjadi perhatian oleh pemerintah, sebab akses sanitasi yang baik menjadi hak setiap warga.
Selain sanitasi, Bambang menjelaskan, pembuangan limbah menjadi masalah krusial perkotaan. Jaringan pengelolaan air limbah di Jakarta menjadi yang terendah di Asia Tenggara.
Jaringan pengelolaan air limbah di Kuala Lumpur mencapai 70%, Bangkok 45%, Manila 30%, dan Ho Chi Minh City 10%. Tapi, Jakarta hanya 2%.
"Instalasi pengolahan air limbah di Jakarta itu hanya ada di Waduk Setiabudi, Kuningan, sama dengan 2%. Baik untuk limbah rumah tangga maupun perkantoran di kawasan itu," ujarnya.
Dengan kondisi di Jakarta yang Ibu Kota Negara saja masih seperti itu, orang-orang di pelosok desa yang akses sanitasinya masih terbatas tentu tak perlu merasa rendah diri.
Artinya, tak perlu merasa malu untuk mengajak sejumlah teman melihat kondisi sanitasi di sekolah dasar negeri desanya. Andai kondisi sanitasinya ternyata buruk, kasihan anak-anak desanya yang sekolah di situ, segera berusaha menggalang swadaya warga desa untuk membangun sebuah toilet sederhana tapi bersih dan sehat. Lebih baik jika sekalian dibuatkan ruangan terpisah untuk anak laki-laki dan perempuan.
Lewat gotong royong membangun sanitasi sekolah di desa ini, sekaligus dijadikan sebagai promosi kepada warga untuk membangun toilet di rumah atau pekarangannya. Lebih baik lagi kalau upaya membangun toilet warga itu juga dilakukan dengan gotong royong bergilir, sehingga proses pembangunan toilet di desa bukan bergantung kapan sempatnya seseorang warga, melainkan secara guyub dalam irama kebersamaan.
Memang, Kepala Bappenas menyatakan akses untuk sanitasi merupakan hak warga yang harus dipenuhi pemerintah. Tapi, alangkah naif menunggu negara mengurusi luapan isi perut kita yang tak tertahan. ***
Bambang menjelaskan banyak sekolah dasar negeri di Indonesia tidak memiliki akses sanitasi dengan baik. Hal ini menyebabkan para siswa (yang rumahnya dekat sekolah) harus pulang ke rumah untuk buang air.
Menurut Bambang, akses sanitasi harus menjadi perhatian oleh pemerintah, sebab akses sanitasi yang baik menjadi hak setiap warga.
Selain sanitasi, Bambang menjelaskan, pembuangan limbah menjadi masalah krusial perkotaan. Jaringan pengelolaan air limbah di Jakarta menjadi yang terendah di Asia Tenggara.
Jaringan pengelolaan air limbah di Kuala Lumpur mencapai 70%, Bangkok 45%, Manila 30%, dan Ho Chi Minh City 10%. Tapi, Jakarta hanya 2%.
"Instalasi pengolahan air limbah di Jakarta itu hanya ada di Waduk Setiabudi, Kuningan, sama dengan 2%. Baik untuk limbah rumah tangga maupun perkantoran di kawasan itu," ujarnya.
Dengan kondisi di Jakarta yang Ibu Kota Negara saja masih seperti itu, orang-orang di pelosok desa yang akses sanitasinya masih terbatas tentu tak perlu merasa rendah diri.
Artinya, tak perlu merasa malu untuk mengajak sejumlah teman melihat kondisi sanitasi di sekolah dasar negeri desanya. Andai kondisi sanitasinya ternyata buruk, kasihan anak-anak desanya yang sekolah di situ, segera berusaha menggalang swadaya warga desa untuk membangun sebuah toilet sederhana tapi bersih dan sehat. Lebih baik jika sekalian dibuatkan ruangan terpisah untuk anak laki-laki dan perempuan.
Lewat gotong royong membangun sanitasi sekolah di desa ini, sekaligus dijadikan sebagai promosi kepada warga untuk membangun toilet di rumah atau pekarangannya. Lebih baik lagi kalau upaya membangun toilet warga itu juga dilakukan dengan gotong royong bergilir, sehingga proses pembangunan toilet di desa bukan bergantung kapan sempatnya seseorang warga, melainkan secara guyub dalam irama kebersamaan.
Memang, Kepala Bappenas menyatakan akses untuk sanitasi merupakan hak warga yang harus dipenuhi pemerintah. Tapi, alangkah naif menunggu negara mengurusi luapan isi perut kita yang tak tertahan. ***
0 komentar:
Posting Komentar