Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Sumpah Pemuda Generasi Millennial!

GENERASI millennial mereka yang kini berusia 20—35 tahun. Setidaknya ada dua cirinya, yaitu tumbuh dalam krisis multidimensi penyulut reformasi 1998, dan berkembang dalam era digital. Generasi yang tumbuh-kembang dalam dua dimensi itu bisa dipastikan memiliki sifat yang dinamis dan kritis, cenderung bersikap antikemapanan.
Sifat dinamis-kritis dan sikap antikemapanan generasi millennial yang sedemikian menjadi karakter media sosial (medsos) dewasa ini. Dinamis dan kritisnya dicemaskan rawan perpecahan karena mudah melihat dan menajamkan perbedaan antara kelompoknya dengan kelompok lain. Atas perbedaan itu tak segan saling tuding dan saling caci-maki. Sedang sikap antikemapanan bisa dirasuki radikalisme, untuk membongkar kemapanan yang dianggap menghalangi langkah mereka ke masa depan.
Sifat dan sikap generasi millennial seperti itu jelas tidak selaras dengan Sumpah Pemuda yang menjadikan perbedaan sebagai hikmah untuk menjalin persatuan (Bhinneka Tunggal Ika). Tapi politik identitas, yang mempertegas perbedaan antarkelompok masyarakat bangsa sebagai dasar pilihan politik, justru secara diam-diam dipraktikkan politikus untuk meraih kekuasaan.
Harus diakui, justru generasi millennial yang menjadi generator mesin politik identitas di medsos belakangan ini. Utamanya dalam kancah pemilihan kepala daerah. Sehingga, untuk bicara tentang Sumpah Pemuda pada generasi millennial, perlu pendekatan khusus untuk menumpulkan ketajamannya pada perbedaan itu.
Maksudnya, untuk menyelaraskan sifat dan sikap bawaan zaman generasi millennial yang sedemikian rupa, tidaklah cukup hanya lewat upacara-upacara seremonial. Betapa, dalam acara seremonial segalanya bisa diatur, tapi di balik itu generasi millennial akan kembali berperan sebagai generator mempertajam perbedaan di medsos.
Kecenderungan generasi millennial itu jelas merupakan antitesis dari kehidupan normal berbangsa yang rutin dalam kemapanan. Jadi yang bukan harus mengantagoniskan tesis dan antitesis tersebut, tapi justru menyintesiskannya, yakni politik identitas, politik populis, dan sejenisnya adalah realitas masyarakat kita. Kalau selama ini dalam pilkada dipakai secara terselubung atau malu-malu, silakan dipakai secara terbuka. Dengan kebinekaan yang ada, bangsa ini tidak akan terbelah Islam dan nonislam misalnya. Karena, kelompok Islam sendiri akan terbagi dalam banyak kelompok, lunak dan keras, Nusantara dan puritan, dan seterusnya. Itulah sintesisnya. ***

0 komentar: