TRAGEDI tewasnya 47 buruh dalam ruang pabrik terkunci saat terjadi kebakaran akibat ledakan di Kosambi, Tangerang, menyayat pedih hati bangsa. Laporan media menunjukkan kelengahan negara cukup fatal dalam berbagai hal atas buruknya tempat kerja berbahan baku sejenis bubuk peledak untuk membuat mercon dan kembang api.
Gudang yang dijadikan pabrik itu hanya punya satu pintu, di dalamnya bekerja seratusan buruh. Satu-satunya pintu gudang itu dikunci majikan, mungkin karena berbagai kekhawatiran. Pertama, khawatir karena pabrik yang baru jalan itu sama sekali belum memiliki izin operasional, termasuk syarat-syarat administrasinya dari izin tempat usaha, fasilitas anti-kebakaran, dan lain-lain.
Kedua, tidak punya izin penggunaan bubuk peledak yang masif dalam industrinya. Padahal, orang membuat bom ikan dengan bahan herbal saja bisa dijerat penyalahgunaan bahan peledak. Sedangkan ini langsung menggunakan sejenis bubuk peledak dalam jumlah besar. Banyak orang jualan petasan saja dagangannya disita.
Ketiga, menggunakan buruh murah, sehari digaji Rp40 ribu. Berarti, sebulan 28 hari kerja hanya Rp1.120.000, padahal UMK di Tangerang di kisaran Rp3 juta sebulan.
Bahkan, setelah 47 buruh tewas terkurung dalam kebakaran gudang dan 46 prang lainnya menderita luka bakar hingga 80%, aparat pemerintahan negara yang terkait dengan penegakan hukum atas berbagai pelanggaran fatal itu dengan enteng berdalih, karena perusahaan itu baru beroperasi dua bulan belum melaporkan usaha dan daftar pekerjanya, maka para pejabat itu belum punya datanya.
Kalau aparat pemerintah sebagai penyelenggara negara bersifat pasif begitu, menunggu laporan dari pelaku kejahatan, bisa jadi jika pusat pemerintahan telah direbut monyet dari planet lain, aparat tidak tahu karena monyetnya belum melapor. Hal seperti itu tentu tak boleh terjadi, karena negara telah membagi habis semua tanggung jawab negara ke semua struktur pemerintahan untuk secara aktif menjalankan fungsi negara mengayomi dan melayani rakyat. Sebab, jika di satu titik fungsi negara bocor halus, keseluruhan fungsi negara bisa ikut kandas.
Dari tragedi Kosambi terlihat bukan hanya keserakahan pengusaha masalahnya, tapi kelalaian organ-organ struktural negara dalam menjalankan fungsinya secara aktif justru menjadi pokok soalnya. Sebab, fungsi mengayomi rakyat harus dijalankan aparatur negara secara aktif lewat upaya pencegahan, bukan menunggu penjahat melapor. ***
Kedua, tidak punya izin penggunaan bubuk peledak yang masif dalam industrinya. Padahal, orang membuat bom ikan dengan bahan herbal saja bisa dijerat penyalahgunaan bahan peledak. Sedangkan ini langsung menggunakan sejenis bubuk peledak dalam jumlah besar. Banyak orang jualan petasan saja dagangannya disita.
Ketiga, menggunakan buruh murah, sehari digaji Rp40 ribu. Berarti, sebulan 28 hari kerja hanya Rp1.120.000, padahal UMK di Tangerang di kisaran Rp3 juta sebulan.
Bahkan, setelah 47 buruh tewas terkurung dalam kebakaran gudang dan 46 prang lainnya menderita luka bakar hingga 80%, aparat pemerintahan negara yang terkait dengan penegakan hukum atas berbagai pelanggaran fatal itu dengan enteng berdalih, karena perusahaan itu baru beroperasi dua bulan belum melaporkan usaha dan daftar pekerjanya, maka para pejabat itu belum punya datanya.
Kalau aparat pemerintah sebagai penyelenggara negara bersifat pasif begitu, menunggu laporan dari pelaku kejahatan, bisa jadi jika pusat pemerintahan telah direbut monyet dari planet lain, aparat tidak tahu karena monyetnya belum melapor. Hal seperti itu tentu tak boleh terjadi, karena negara telah membagi habis semua tanggung jawab negara ke semua struktur pemerintahan untuk secara aktif menjalankan fungsi negara mengayomi dan melayani rakyat. Sebab, jika di satu titik fungsi negara bocor halus, keseluruhan fungsi negara bisa ikut kandas.
Dari tragedi Kosambi terlihat bukan hanya keserakahan pengusaha masalahnya, tapi kelalaian organ-organ struktural negara dalam menjalankan fungsinya secara aktif justru menjadi pokok soalnya. Sebab, fungsi mengayomi rakyat harus dijalankan aparatur negara secara aktif lewat upaya pencegahan, bukan menunggu penjahat melapor. ***
0 komentar:
Posting Komentar