SEPANJANG pekan lalu dolar AS menekan kurs rupiah. Berawal Senin (25/9/2017) Rp13.305 per dolar AS, Selasa jadi Rp13.348, Rabu Rp13.384, Kamis Rp13.443, dan Jumat sempat melonjak ke Rp13.515 sebelum akhir pekan pasar ditutup pada Rp13.470 per dolar AS. Pelemahan rupiah itu berlanjut ke pekan ini, Senin (2/10/2017), pasar dibuka pada posisi Rp13.491 per dolar AS.
Penyebab dolar menguji ketangguhan rupiah itu sepele, yakni rencana Presiden Donald Trump melakukan reformasi pajak. Diperkuat lagi dengan pernyataan Gubernur The Fed Janet Yellen, sebelum akhir tahun akan menaikkan sekali lagi suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) untuk menjaga keseimbangan pasar tenaga kerja dan inflasi.
"Tanpa peningkatan suku bunga acuan FFR secara gradual, ada risiko pasar tenaga kerja akan overheat, pasar menjadi overheat, dan menimbulkan masalah inflasi yang akan sulit untuk diatasi," ujar Yellen dikutip Reuters (Kompas.com, 27/9/2017).
Tapi, kenapa rupiah begitu rentan oleh isu yang baru rencana tersebut? Padahal, kondisi rupiah saat ini sangat sehat dengan dukungan cadangan devisa 128,8 miliar dolar AS pada Agustus 2017.
Justru ketangguhan rupiah itu diuji kekuatan isu-isu eksternal tersebut menyedot dolar. Maksudnya, dengan rancangan Trump dan Yellen itu dolar tersedot pulang ke negerinya. Dan, itu bukan hanya dolar yang berada di Indonesia, justru rupiah hanya terimbas oleh mata uang regional yang lebih dahulu terpengaruh oleh sedotan dolar kembali ke negerinya tersebut.
Mengenai penyedotan dolar pulang kampung itu, menurut catatan Bloomberg selama kuartal III 2017, di Bursa Efek Indonesia (BEI) terjadi net sell (penjualan bersih) asing terbesar selama tiga tahun terakhir, yakni mencapai Rp28,1 triliun. Ini melampaui tekor sebelumnya kuartal IV 2016 sebesar Rp18,28 triliun dan kuartal III 2015 Rp16,87 triliun.
Peningkatan arus penyedotan dolar kembali ke AS masih berkemungkinan, lebih lagi oleh klaim Pemerintah AS bahwa revisi ke atas pertumbuhan ekonominya pada kuartal II 2017 dari prediksi 2,6% terealisasi 3,1% didorong oleh tingginya belanja konsumen dan belanja pemerintah. Pemerintah AS juga menyebut pertumbuhan ekonomi AS saat ini adalah yang terpesat dalam dua tahun terakhir (Kompas.com, 2/10/2017).
Memang terlihat berbagai faktor eksternal yang menjadi penguji ketangguhan rupiah terhadap dolar AS. Tapi, cukuplah faktor eksternal saja yang menguji rupiah, dijaga agar jangan sampai ada faktor internal yang ikut merepotkan. ***
"Tanpa peningkatan suku bunga acuan FFR secara gradual, ada risiko pasar tenaga kerja akan overheat, pasar menjadi overheat, dan menimbulkan masalah inflasi yang akan sulit untuk diatasi," ujar Yellen dikutip Reuters (Kompas.com, 27/9/2017).
Tapi, kenapa rupiah begitu rentan oleh isu yang baru rencana tersebut? Padahal, kondisi rupiah saat ini sangat sehat dengan dukungan cadangan devisa 128,8 miliar dolar AS pada Agustus 2017.
Justru ketangguhan rupiah itu diuji kekuatan isu-isu eksternal tersebut menyedot dolar. Maksudnya, dengan rancangan Trump dan Yellen itu dolar tersedot pulang ke negerinya. Dan, itu bukan hanya dolar yang berada di Indonesia, justru rupiah hanya terimbas oleh mata uang regional yang lebih dahulu terpengaruh oleh sedotan dolar kembali ke negerinya tersebut.
Mengenai penyedotan dolar pulang kampung itu, menurut catatan Bloomberg selama kuartal III 2017, di Bursa Efek Indonesia (BEI) terjadi net sell (penjualan bersih) asing terbesar selama tiga tahun terakhir, yakni mencapai Rp28,1 triliun. Ini melampaui tekor sebelumnya kuartal IV 2016 sebesar Rp18,28 triliun dan kuartal III 2015 Rp16,87 triliun.
Peningkatan arus penyedotan dolar kembali ke AS masih berkemungkinan, lebih lagi oleh klaim Pemerintah AS bahwa revisi ke atas pertumbuhan ekonominya pada kuartal II 2017 dari prediksi 2,6% terealisasi 3,1% didorong oleh tingginya belanja konsumen dan belanja pemerintah. Pemerintah AS juga menyebut pertumbuhan ekonomi AS saat ini adalah yang terpesat dalam dua tahun terakhir (Kompas.com, 2/10/2017).
Memang terlihat berbagai faktor eksternal yang menjadi penguji ketangguhan rupiah terhadap dolar AS. Tapi, cukuplah faktor eksternal saja yang menguji rupiah, dijaga agar jangan sampai ada faktor internal yang ikut merepotkan. ***
0 komentar:
Posting Komentar