BANYAKNYA toko retail yang tutup, menurut Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, bukan karena adanya penurunan daya beli masyarakat. Kondisi itu terjadi lebih karena perubahan tren. "Tapi, karena (tren) berubah dari (belanja) offline ke online," ujarnya.
Menurut Ken, daya beli masyarakat tidak menurun karena penerimaan pajak dari jasa kurir dan sewa gudang tetap meningkat. Selain itu, ada peningkatan sebesar 14% penerimaan pajak final dari pelaku usaha kecil menengah beromzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun.
"Banyak pihak mengatakan daya beli turun, tapi transaksi pajak pertambahan nilai (PPN) yang kami peroleh itu naik. Pajak retail juga naik, artinya daya beli tetap ada," kata Ken.
Berdasar data dari Direktur Potensi dan Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal, penerimaan PPN tumbuh 12,1% pada Oktober 2017 dibanding periode sama tahun lalu. Pada periode sama pula, industri tumbuh 26,63%, perdagangan tumbuh 18,74%, dan keuangan tumbuh 9,08%.
Yon menjelaskan pola konsumsi masyarakat dari sektor perdagangan tumbuh 18,7% yang berasal dari pertumbuhan pajak penghasilan (PPh) final 1% sebesar 41%. Kemudian, kinerja jasa kurir secara agregat tumbuh 30%, PPh Pasal 23 tumbuh 113%, dan PPN dalam negeri tumbuh 23%.
Bantahan Ken lewat realisasi pajak itu diperkuat Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia menyatakan penerimaan PPN semua sektor ekonomi, termasuk retail, tumbuh double digit. "Ini menggambarkan ada aktivitas ekonomi yang mendasari pembayaran pajak itu," tegas Sri.
Berdasarkan data household consumption Bank Dunia, tutur Sri Mulyani, dari 10 kelompok pendataan, 30% masyarakat berpenghasilan paling rendah konsumsinya lebih tinggi dari tahun lalu (Kompas.com, 28—31/10/2017).
Jajaran pemerintah membantah isu gugurnya banyak gerai retail akibat turunnya daya beli karena isu turunnya daya beli diembuskan oposisi untuk mengesankan pemerintah gagal dalam membangun ekonomi. Ditjen Pajak konferensi pers untuk menunjukkan kemajuan ekonomi dari realisasi pajak.
Namun, perubahan tren belanja ke daring sebagai penyebab gugurnya retail modern juga kurang tepat karena omzet bisnis daring baru 1% dari retail nasional.
Dari data Bank Dunia diketahui yang turun konsumsi kelas menengah atas, menjadi kisaran 5—6% dari tahun lalu 8%. Namun, BPS lebih dahulu membuktikan ini terjadi karena kelas menengah atas menahan diri dari berbelanja dengan mengalihkan uangnya ke tabungan bank, seperti DPK BNI pada kuartal III 2017 tumbuh 19,6%. ***
"Banyak pihak mengatakan daya beli turun, tapi transaksi pajak pertambahan nilai (PPN) yang kami peroleh itu naik. Pajak retail juga naik, artinya daya beli tetap ada," kata Ken.
Berdasar data dari Direktur Potensi dan Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal, penerimaan PPN tumbuh 12,1% pada Oktober 2017 dibanding periode sama tahun lalu. Pada periode sama pula, industri tumbuh 26,63%, perdagangan tumbuh 18,74%, dan keuangan tumbuh 9,08%.
Yon menjelaskan pola konsumsi masyarakat dari sektor perdagangan tumbuh 18,7% yang berasal dari pertumbuhan pajak penghasilan (PPh) final 1% sebesar 41%. Kemudian, kinerja jasa kurir secara agregat tumbuh 30%, PPh Pasal 23 tumbuh 113%, dan PPN dalam negeri tumbuh 23%.
Bantahan Ken lewat realisasi pajak itu diperkuat Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia menyatakan penerimaan PPN semua sektor ekonomi, termasuk retail, tumbuh double digit. "Ini menggambarkan ada aktivitas ekonomi yang mendasari pembayaran pajak itu," tegas Sri.
Berdasarkan data household consumption Bank Dunia, tutur Sri Mulyani, dari 10 kelompok pendataan, 30% masyarakat berpenghasilan paling rendah konsumsinya lebih tinggi dari tahun lalu (Kompas.com, 28—31/10/2017).
Jajaran pemerintah membantah isu gugurnya banyak gerai retail akibat turunnya daya beli karena isu turunnya daya beli diembuskan oposisi untuk mengesankan pemerintah gagal dalam membangun ekonomi. Ditjen Pajak konferensi pers untuk menunjukkan kemajuan ekonomi dari realisasi pajak.
Namun, perubahan tren belanja ke daring sebagai penyebab gugurnya retail modern juga kurang tepat karena omzet bisnis daring baru 1% dari retail nasional.
Dari data Bank Dunia diketahui yang turun konsumsi kelas menengah atas, menjadi kisaran 5—6% dari tahun lalu 8%. Namun, BPS lebih dahulu membuktikan ini terjadi karena kelas menengah atas menahan diri dari berbelanja dengan mengalihkan uangnya ke tabungan bank, seperti DPK BNI pada kuartal III 2017 tumbuh 19,6%. ***
0 komentar:
Posting Komentar