DALAM Konferensi Internasional "Indonesian Democracy in the Age of Populism" di UI, Rabu (8/11/2017), guru besar Ritsumeikan University, Jepang, Takashi Shiraishi, mengenai apakah populisme bisa muncul di Indonesia, sangat bergantung pada kinerja pemerintah, termasuk dalam ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai kisaran 6—6,5% per tahun, dia menilai hal itu akan sangat baik.
Tantangan Indonesia dan negara Asia lain, menurut Takashi, adalah apakah pemerintah bisa memenuhi inflasi ekspektasi masyarakat. Di Eropa dan AS, warga yang sudah menikmati perbaikan standar hidup selama 1996—2005 merasa selama 10 tahun terakhir kinerja pemerintah tidak memenuhi ekspektasi mereka sehingga muncul kemarahan kepada elite (Kompas, 9/11/2017), menjadi badai populisme.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya di kisaran 5,1%. Agak jauh dari syarat aman dari populisme standar Takashi. Lebih dari itu, dengan pertumbuhan 5,06% pada kuartal III 2017, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto, share (bagian) 40% kelompok lapisan terbawah hanya 17%, share 40% kelas menengah 36%, dan share 20% warga kelas atas 46%.
Dengan kesenjangan ekonomi yang beraspek sosial sedemikian jauh dari gambaran nyaman Takashi, berarti tak mudah bagi pemerintah di Indonesia untuk mengendalikan populisme.
Populisme yang mengusung politik identitas dan antipluralisme menjadi ancaman bagi negara mana pun yang mengusung demokrasi dan hak asasi manusia, termasuk Indonesia. Ancaman populisme ini di Indonesia menurut Kompas (idem) selain melalui kesenjangan sosial tadi juga bisa datang melalui isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Upaya mengendalikan populisme, menurut Mada Sukmajati dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjadi peran partai politik. Ini karena partai berperan memilih orang-orang yang akan dicalonkan dalam satu pemilihan. Partai seharusnya bisa mengendalikan isu-isu yang diusung oleh kandidat.
Tapi yang terjadi di Eropa, justru partai politik (ekstrem kanan) yang memakai populisme untuk menang pemilu. Hal serupa bukan mustahil karena seperti gurauan Gus Dur, orang Indonesia itu lain yang diucapkan lain pula yang dikerjakan. Dalam ucapan nyaring antipopulisme, tapi mesin politiknya intensif mengeksploitasi populisme.
Meskipun demikian, resep Takashi mengatasi populisme tetap relevan bagi pemerintah. Ciptakan pertumbuhan yang tinggi hingga inflasi ekspektasi masyarakat terpenuhi, peluang populisme lenyap. ***
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya di kisaran 5,1%. Agak jauh dari syarat aman dari populisme standar Takashi. Lebih dari itu, dengan pertumbuhan 5,06% pada kuartal III 2017, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto, share (bagian) 40% kelompok lapisan terbawah hanya 17%, share 40% kelas menengah 36%, dan share 20% warga kelas atas 46%.
Dengan kesenjangan ekonomi yang beraspek sosial sedemikian jauh dari gambaran nyaman Takashi, berarti tak mudah bagi pemerintah di Indonesia untuk mengendalikan populisme.
Populisme yang mengusung politik identitas dan antipluralisme menjadi ancaman bagi negara mana pun yang mengusung demokrasi dan hak asasi manusia, termasuk Indonesia. Ancaman populisme ini di Indonesia menurut Kompas (idem) selain melalui kesenjangan sosial tadi juga bisa datang melalui isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Upaya mengendalikan populisme, menurut Mada Sukmajati dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjadi peran partai politik. Ini karena partai berperan memilih orang-orang yang akan dicalonkan dalam satu pemilihan. Partai seharusnya bisa mengendalikan isu-isu yang diusung oleh kandidat.
Tapi yang terjadi di Eropa, justru partai politik (ekstrem kanan) yang memakai populisme untuk menang pemilu. Hal serupa bukan mustahil karena seperti gurauan Gus Dur, orang Indonesia itu lain yang diucapkan lain pula yang dikerjakan. Dalam ucapan nyaring antipopulisme, tapi mesin politiknya intensif mengeksploitasi populisme.
Meskipun demikian, resep Takashi mengatasi populisme tetap relevan bagi pemerintah. Ciptakan pertumbuhan yang tinggi hingga inflasi ekspektasi masyarakat terpenuhi, peluang populisme lenyap. ***
0 komentar:
Posting Komentar