UMP—upah minimum provinsi—2018 seluruh Indonesia telah ditetapkan 1 November 2017 dengan peningkatan 8,71%. Di Lampung, UMP 2018 menjadi Rp2.074.672, naik Rp166.225 dari UMP tahun sebelumnya Rp1.908.447. Angka kenaikan 8,71% itu didapat dari inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi nasional.
Kenaikan UMP tahunan yang didasarkan pada Pasal 44 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 itu menyempurnakan pendapatan buruh untuk bisa menikmati pertumbuhan ekonomi. Jadi, kenaikannya tidak sebatas untuk penyesuaian dengan inflasi seperti masa sebelumnya yang terbatas hanya dihitung sesuai perubahan harga-harga (inflasi) pada komponen kebutuhan hidup layak (KHL).
Meski demikian, bukan berarti KHL tidak dipakai lagi. Setiap empat tahun sekali dilakukan survei langsung KHL oleh Dewan Pengupahan Daerah didampingi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menetapkan KHL baru. Setelah itu, tahun-tahun berikutnya cukup dengan menggunakan angka inflasi nasional. Sebab, pada dasarnya perubahan yang terjadi pada komponen KHL mengacu tingkat inflasi.
Dengan PP 78/2015 yang dalam upah buruh telah terakomodasi kesempatan buruh untuk ikut menikmati pertumbuhan ekonomi, jika ada pimpinan buruh ngotot mengerahkan buruh demo untuk menuntut kembali ke sistem KHL, jelas itu merugikan buruh karena hanya menghitung kenaikan upah dengan tambahan inflasi, tanpa mengakomodasi angka pertumbuhan ekonomi.
Kalau ada demo menuntut kembali ke KHL dengan mengesampingkan pertumbuhan ekonomi dalam kenaikan upah buruh, insan pers harus jeli menanya ke peserta demo. Jangan-jangan, mereka bukan buruh, melainkan massa bayaran untuk demo yang bermotif politik.
Jadi, kepentingan buruh dicatut untuk kepentingan politik yang justru merugikan kepentingan kaum buruh sendiri. Atau kalau mereka buruh, cuma buruh yang diperbodoh untuk ikut-ikutan berjuang yang merugikan kaum buruh.
Lebih lagi di Lampung yang kaum buruhnya selama ini terkenal tenang dengan bipartit (hubungan buruh-pengusaha) yang baik di mayoritas perusahaan, sehingga segala permasalahan antara buruh dan perusahaan bisa mereka selesaikan secara internal di perusahaan.
Dengan pendekatan bipartit itu, buruh juga tidak mendapatkan sebatas upah. Selain jaminan kesehatan dan transpor ke tempat kerja, juga ada yang mendapat berbagai bantuan kesejahteraan lainnya baik dalam masa kerja sehari-hari, maupun bersifat jangka panjang seperti perumahan. Karena itu, buruh di Lampung "anteng". ***
Meski demikian, bukan berarti KHL tidak dipakai lagi. Setiap empat tahun sekali dilakukan survei langsung KHL oleh Dewan Pengupahan Daerah didampingi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menetapkan KHL baru. Setelah itu, tahun-tahun berikutnya cukup dengan menggunakan angka inflasi nasional. Sebab, pada dasarnya perubahan yang terjadi pada komponen KHL mengacu tingkat inflasi.
Dengan PP 78/2015 yang dalam upah buruh telah terakomodasi kesempatan buruh untuk ikut menikmati pertumbuhan ekonomi, jika ada pimpinan buruh ngotot mengerahkan buruh demo untuk menuntut kembali ke sistem KHL, jelas itu merugikan buruh karena hanya menghitung kenaikan upah dengan tambahan inflasi, tanpa mengakomodasi angka pertumbuhan ekonomi.
Kalau ada demo menuntut kembali ke KHL dengan mengesampingkan pertumbuhan ekonomi dalam kenaikan upah buruh, insan pers harus jeli menanya ke peserta demo. Jangan-jangan, mereka bukan buruh, melainkan massa bayaran untuk demo yang bermotif politik.
Jadi, kepentingan buruh dicatut untuk kepentingan politik yang justru merugikan kepentingan kaum buruh sendiri. Atau kalau mereka buruh, cuma buruh yang diperbodoh untuk ikut-ikutan berjuang yang merugikan kaum buruh.
Lebih lagi di Lampung yang kaum buruhnya selama ini terkenal tenang dengan bipartit (hubungan buruh-pengusaha) yang baik di mayoritas perusahaan, sehingga segala permasalahan antara buruh dan perusahaan bisa mereka selesaikan secara internal di perusahaan.
Dengan pendekatan bipartit itu, buruh juga tidak mendapatkan sebatas upah. Selain jaminan kesehatan dan transpor ke tempat kerja, juga ada yang mendapat berbagai bantuan kesejahteraan lainnya baik dalam masa kerja sehari-hari, maupun bersifat jangka panjang seperti perumahan. Karena itu, buruh di Lampung "anteng". ***
0 komentar:
Posting Komentar