BADAN Pusat Statistik (BPS) merilis pada kuartal III 2017 ekonomi Indonesia mencapai pertumbuhan 5,06%, naik tipis dari kuartal I dan II sebesar 5,01%. Namun, meski pertumbuhan membaik, BPS memastikan daya beli rakyat miskin atau 40% lapisan bawah tertekan. Hal ini seiring dengan tingkat konsumsi rumah tangga yang melambat jadi 4,93% dari kuartal sebelumnya 4,95%.
Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, Senin (6/11/2017), menjelaskan kontribusi 40% masyarakat lapisan bawah terhadap ekonomi nasional sebesar 17%, sedangkan 40% kelas menengah menguasai 36%, dan 20% kelas atas menguasai 46%.
Kecuk mengingatkan meski ia bicara secara general tidak ada penurunan daya beli, perlu ada kewaspadaan untuk lapisan 40% ke bawah bahwa daya beli mereka tertekan. Itu terlihat dari upah buruh sektor riil yang terus turun, serta nilai tukar petani (NTP) yang naik tipis, namun secara kuartal juga mengalami penurunan.
"Itu merupakan sebuah indikasi bahwa kita perlu memberikan perhatian ekstra kepada 40% lapisan ke bawah. Jadi, betul bahwa pertumbuhan ekonomi mencerminkan menengah ke atas, karena share yang di bawah itu hanya 17%," ujarnya (detik-finance, 6/11/2017).
Tertekannya daya beli masyarakat lapisan bawah pada kuartal sebelumnya terjadi karena terlambatnya distribusi rastra dan dana program keluarga harapan (PKH). Kalau hal serupa tak terulang di kuartal III, perlu dicari penyebab lain di luar upah buruh sektor riil yang terus menurun itu.
Jangan-jangan dana desa yang Rp60 triliun itu menjadi masalah baru, karena untuk memaksimalkan hasilnya pimpinan desa malah mengerahkan rakyat bergotong royong membangun infrastruktur desa yang materialnya dibeli dengan dana desa.
Gotong royong memang bagus, apalagi bisa dibanggakan kepala daerahnya partisipasi rakyat dalam membangun infrastruktur desa mereka tahun ini sekian juta hari kerja. Namun, di sisi lain, warga yang kerja penuh pun hasilnya selalu tak mencukupi untuk keluarga, dipotong beberapa hari kerja setiap minggu untuk gotong royong mendukung dana desa membangun infrastruktur, kekurangan belanja keluarganya bisa semakin parah.
Karena itu, layak didukung rencana Presiden Jokowi menjadikan dana desa yang Rp60 triliun itu sebagai proyek padat karya, dalam arti setiap pekerja dalam penggunaan dana tersebut untuk membangun desa dibayar upahnya dari dana tersebut. Dengan begitu triliunan dana yang mengalir ke desa bisa dinikmati rakyat miskin, tidak malah cuma memeras tenaganya. ***
Kecuk mengingatkan meski ia bicara secara general tidak ada penurunan daya beli, perlu ada kewaspadaan untuk lapisan 40% ke bawah bahwa daya beli mereka tertekan. Itu terlihat dari upah buruh sektor riil yang terus turun, serta nilai tukar petani (NTP) yang naik tipis, namun secara kuartal juga mengalami penurunan.
"Itu merupakan sebuah indikasi bahwa kita perlu memberikan perhatian ekstra kepada 40% lapisan ke bawah. Jadi, betul bahwa pertumbuhan ekonomi mencerminkan menengah ke atas, karena share yang di bawah itu hanya 17%," ujarnya (detik-finance, 6/11/2017).
Tertekannya daya beli masyarakat lapisan bawah pada kuartal sebelumnya terjadi karena terlambatnya distribusi rastra dan dana program keluarga harapan (PKH). Kalau hal serupa tak terulang di kuartal III, perlu dicari penyebab lain di luar upah buruh sektor riil yang terus menurun itu.
Jangan-jangan dana desa yang Rp60 triliun itu menjadi masalah baru, karena untuk memaksimalkan hasilnya pimpinan desa malah mengerahkan rakyat bergotong royong membangun infrastruktur desa yang materialnya dibeli dengan dana desa.
Gotong royong memang bagus, apalagi bisa dibanggakan kepala daerahnya partisipasi rakyat dalam membangun infrastruktur desa mereka tahun ini sekian juta hari kerja. Namun, di sisi lain, warga yang kerja penuh pun hasilnya selalu tak mencukupi untuk keluarga, dipotong beberapa hari kerja setiap minggu untuk gotong royong mendukung dana desa membangun infrastruktur, kekurangan belanja keluarganya bisa semakin parah.
Karena itu, layak didukung rencana Presiden Jokowi menjadikan dana desa yang Rp60 triliun itu sebagai proyek padat karya, dalam arti setiap pekerja dalam penggunaan dana tersebut untuk membangun desa dibayar upahnya dari dana tersebut. Dengan begitu triliunan dana yang mengalir ke desa bisa dinikmati rakyat miskin, tidak malah cuma memeras tenaganya. ***
0 komentar:
Posting Komentar