Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Di Balik Drama Sidang Novanto!

DRAMA ekspresi Novanto kesakitan berhasil membuat skorsing sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/12/2017), sepanjang 7 jam 13 menit. Sidang yang dibuka pukul 10.00 diskors hingga pukul 17.13, dibuka lagi untuk membacakan dakwaan. Akhirnya, demi hukum sekaligus gugur kasus praperadilan Novanto dan jabatan ketua DPR yang disandangnya.
Dengan drama ekspresi kesakitan itu, Novanto gagal membuat preseden menunda sampai berganti hari pembacaan dakwaan. Putusan sidang prapreradilan didahului pembacaan dakwaan pokok perkaranya. Novanto pun gagal menciptakan rekor dua kali berturut menang praperadilan lawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bakal terjadinya drama seperti itu agaknya sudah diperkirakan dua pengacara senior Novanto yang mengundurkan diri menjelang hari persidangan. Fredrich Yunadi, misalnya, pengacara yang selalu pasang badan melindungi Novanto setiap kali kliennya memainkan drama dengan ekspresi kesakitan, akhirnya mundur karena mungkin telah memperkirakan drama yang dimainkan Novanto bakal kandas lagi.
Pertama kali drama itu dikandaskan pemeriksaan tim dokter IDI di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), yang langsung diikuti dengan tindakan penahanan Novanto oleh KPK. Drama kedua digagalkan tim dokter RSCM di sidang Pengadilan Tipikor yang menegaskan kondisi fisik Novanto cukup sehat untuk mengikuti persidangan. Dengan kepastian dari tim dokter itu, hakim melanjutkan sidang pembacaan dakwaan.
Sudah tentu, kesabaran para hakim dan jaksa mengikuti drama yang bertele-tele selama tujuh jam lebih itu layak dipuji. Sebaliknya, dengan kesabaran para hakim dan jaksa yang besar itu, drama yang dimainkan pesakitan menjadi sendra lagu Killing Me Softly, karena sepanjang apa pun drama itu dia mainkan, skorsing sidangnya tetap berujung pada pembacaan dakwaan.
Kesabaran para hakim dan jaksa itu pantas diberi penghormatan karena dengan itu sebuah modus sandiwara berhasil mereka gagalkan untuk hadir sebagai model yang bisa ditiru pesakitan lain. Modus praperadilan yang banyak ditiru para tersangka saja sudah cukup merepotkan kalangan penegak hukum. Konon lagi kalau modus drama itu berhasil dan menjadi model, betapa amat repot aparat penegak hukum dibuatnya.
Namun, ibarat lakon pertunjukan, drama ini belum mencapai klimaks. Bisa saja dalam proses persidangan selanjutnya masih akan ada plot-plot baru serialnya. Kejelian dan kesabaran para hakim dan jaksa diperlukan menghadapi klimaksnya drama. ***

0 komentar: