INVESTASI di Indonesia banyak frustrasinya. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyebut ada 43 ribu aturan yang tidak jarang membelit investasi. Masih banyak kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah yang sibuk membelit diri sendiri dengan banyaknya aturan izin dan persyaratan yang dibuat. Padahal aturan tersebut tidak diperlukan.
"Saya secara terbuka mengakui untuk menjalankan suatu usaha di Indonesia itu frustrasinya terlalu banyak," ujar Lembong.
Akibatnya minat investor untuk berinvestasi di Indonesia justru menguap tidak terealisasi. (Kompas.com, 7/12/2017)
Bahkan saking geregetan dengan banyaknya aturan yang tidak perlu, ia menilai Indonesia sudah bukan lagi negara hukum, tetapi negara peraturan.
"Karena kita mau mengatur semua, jadi tidak teratur. Seharusnya kita mengatur yang harus diatur saja. Kalau enggak perlu diatur ya enggak usah," tukas Lembong.
Namun pembenahan ekonomi nasional selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK dengan 13 paket kebijakannya, perlahan tetapi pasti iklim investasi menjadi makin kondusif. Sementara puluhan ribu aturan daerah yang membelit itu menjadi steril, tidak bisa lagi disentuh pusat berkat judicial review elite daerah. Mengatasi itu, perizinan di kementerian dan lembaga pusat diintegrasikan daring satu atap di BKPM.
Hasilnya, kontribusi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) terus meningkat, dari 31,7% pada kuartal II 2017, naik menjadi 32,6% pada kuartal III 2017. Itu sejalan dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh 5,8%, di atas pertumbuhan ekonomi kuartal III 5,06%.
Angka-angka positif itu resultan nilai absolut realisasi investasi Rp513,2 triliun sepanjang Januari—September 2017, atau 75,6% dari target tahun ini Rp678,8 triliun. Sekaligus, melonjak 42 tingkat peringkat kemudahan usaha di Indonesia 2018 dalam laporan terbaru Bank Dunia, dari peringkat 109 pada 2016 kini jadi peringkat 72.
Sayang, semua kemajuan yang membuat tiga lembaga pemeringkat investasi dunia, yakni Fitch Ratings, Moody's Investor Service, dan Standard & Poor's memberi Indonesia peringkat Layak Investasi itu, lebih sebagai buah kerja keras Pemerintah Pusat. Adapun elite daerah malah memeluk erat pemuas privileges-nya, aturan penghambat investasi yang menang judicial review.
Tampak, elite daerah harus mengeliminasi sendiri semua aturan daerah penghambat investasi yang tidak bisa lagi disentuh pusat itu. ***
Akibatnya minat investor untuk berinvestasi di Indonesia justru menguap tidak terealisasi. (Kompas.com, 7/12/2017)
Bahkan saking geregetan dengan banyaknya aturan yang tidak perlu, ia menilai Indonesia sudah bukan lagi negara hukum, tetapi negara peraturan.
"Karena kita mau mengatur semua, jadi tidak teratur. Seharusnya kita mengatur yang harus diatur saja. Kalau enggak perlu diatur ya enggak usah," tukas Lembong.
Namun pembenahan ekonomi nasional selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK dengan 13 paket kebijakannya, perlahan tetapi pasti iklim investasi menjadi makin kondusif. Sementara puluhan ribu aturan daerah yang membelit itu menjadi steril, tidak bisa lagi disentuh pusat berkat judicial review elite daerah. Mengatasi itu, perizinan di kementerian dan lembaga pusat diintegrasikan daring satu atap di BKPM.
Hasilnya, kontribusi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) terus meningkat, dari 31,7% pada kuartal II 2017, naik menjadi 32,6% pada kuartal III 2017. Itu sejalan dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh 5,8%, di atas pertumbuhan ekonomi kuartal III 5,06%.
Angka-angka positif itu resultan nilai absolut realisasi investasi Rp513,2 triliun sepanjang Januari—September 2017, atau 75,6% dari target tahun ini Rp678,8 triliun. Sekaligus, melonjak 42 tingkat peringkat kemudahan usaha di Indonesia 2018 dalam laporan terbaru Bank Dunia, dari peringkat 109 pada 2016 kini jadi peringkat 72.
Sayang, semua kemajuan yang membuat tiga lembaga pemeringkat investasi dunia, yakni Fitch Ratings, Moody's Investor Service, dan Standard & Poor's memberi Indonesia peringkat Layak Investasi itu, lebih sebagai buah kerja keras Pemerintah Pusat. Adapun elite daerah malah memeluk erat pemuas privileges-nya, aturan penghambat investasi yang menang judicial review.
Tampak, elite daerah harus mengeliminasi sendiri semua aturan daerah penghambat investasi yang tidak bisa lagi disentuh pusat itu. ***
0 komentar:
Posting Komentar