UPAYA pemerintah membangun infrastruktur telah menuai hasil, memacu pertumbuhan investasi mencapai 7,1% pada kuartal III 2017, tertinggi sejak kuartal I 2013. Diperkirakan, investasi berkontribusi sebesar 35% terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 2017.
"Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik jadi 5,3% dan 5,4% pada 2018 dan 2019," kata Gundy Cahyadi, ekonom DBS Group Research, dalam laporan yang berjudul Indonesia in 2018/2019: Higher Gear? Yang dirilis akhir November 2017 (Kompas.com, 8/12/2017).
Tantangannya adalah bagaimana pemerintah dapat mengakumulasikan berbagai indikator untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat, seperti mendorong investasi swasta yang sejak 2013 mengalami kemunduran.
Investasi swasta diandalkan dengan terbatasnya ruang fiskal pemerintah. UU mengatur pembatasan defisit anggaran maksimal 3% dari PDB. Diperkirakan, defisit akan mencapai 2,6% pada 2018, lebih tinggi dari perkiraan pemerintah 2,2%. DBS Group memperkirakan kenaikan defisit terutama didorong oleh potensi penurunan penerimaan pajak ketimbang kenaikan anggaran belanja.
Dengan berbagai indikator berperforma prima, salah satunya rasio utang pemerintah di bawah 30% dari PDB, terendah di antara negara-negara berkembang, menurut DBS Group yang berbasis di Singapura itu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan fundamental ekonomi terkuat di kawasan regional.
Dengan pemerintahan yang stabil dan risiko politik yang relatif rendah, ekonomi Indonesia berpotensi untuk bergerak lebih cepat dalam beberapa tahun mendatang. Faktor eksternal, kalau selama ini dinilai sebagai kendala, menurut DBS Group, ke depan justru akan menjadi loko penarik utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama yang berasal dari kenaikan harga komoditas.
Tren kenaikan harga minyak mentah dunia akan meningkatkan pemasukan negara dari sektor migas. Dalam perhitungan DBS, setiap kenaikan harga minyak 10% akan memberi tambahan anggaran Rp6,7 triliun ke APBN.
Tidak seperti negara-negara lain, Indonesia tak ikut menarik keuntungan dari tumbuhnya permintaan produk manufaktur global. Ekspor Indonesia masih mengandalkan sektor komoditas, terutama batu bara yang tumbuh 49%, minyak sawit mentah sebesar 44%, dan migas sebesar 21%. Sementara ekspor produk manufaktur hanya tumbuh 2,5%.
Peluang ekspor manufaktur itu mulai diisi investasi langsung ke sektor manufaktur yang mencatat rekor tertinggi sebesar 16,6 miliar dolar AS pada 2016. ***
Tantangannya adalah bagaimana pemerintah dapat mengakumulasikan berbagai indikator untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat, seperti mendorong investasi swasta yang sejak 2013 mengalami kemunduran.
Investasi swasta diandalkan dengan terbatasnya ruang fiskal pemerintah. UU mengatur pembatasan defisit anggaran maksimal 3% dari PDB. Diperkirakan, defisit akan mencapai 2,6% pada 2018, lebih tinggi dari perkiraan pemerintah 2,2%. DBS Group memperkirakan kenaikan defisit terutama didorong oleh potensi penurunan penerimaan pajak ketimbang kenaikan anggaran belanja.
Dengan berbagai indikator berperforma prima, salah satunya rasio utang pemerintah di bawah 30% dari PDB, terendah di antara negara-negara berkembang, menurut DBS Group yang berbasis di Singapura itu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan fundamental ekonomi terkuat di kawasan regional.
Dengan pemerintahan yang stabil dan risiko politik yang relatif rendah, ekonomi Indonesia berpotensi untuk bergerak lebih cepat dalam beberapa tahun mendatang. Faktor eksternal, kalau selama ini dinilai sebagai kendala, menurut DBS Group, ke depan justru akan menjadi loko penarik utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama yang berasal dari kenaikan harga komoditas.
Tren kenaikan harga minyak mentah dunia akan meningkatkan pemasukan negara dari sektor migas. Dalam perhitungan DBS, setiap kenaikan harga minyak 10% akan memberi tambahan anggaran Rp6,7 triliun ke APBN.
Tidak seperti negara-negara lain, Indonesia tak ikut menarik keuntungan dari tumbuhnya permintaan produk manufaktur global. Ekspor Indonesia masih mengandalkan sektor komoditas, terutama batu bara yang tumbuh 49%, minyak sawit mentah sebesar 44%, dan migas sebesar 21%. Sementara ekspor produk manufaktur hanya tumbuh 2,5%.
Peluang ekspor manufaktur itu mulai diisi investasi langsung ke sektor manufaktur yang mencatat rekor tertinggi sebesar 16,6 miliar dolar AS pada 2016. ***
0 komentar:
Posting Komentar