Artikel Halaman 8, Lampung Post Sabtu 18-01-2020
Konyol, Pimpinan KPK Kedodoran!
H. Bambang Eka Wijaya
KONYOL dan kedodoran sebagai sebutan buat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu dipakai Harian Kompas dalam Tajuk Rencana (14/1/2020). Menurut Kompas, kredibilitas KPK sedang dipertaruhkan dalam memberantas korupsi.
"Pernyataan Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri seperti dikutip Harian Kompas, 12 Januari 2020 bahwa penggeledahan oleh tim KPK baru akan dilakukan pekan depan bisa dilihat sebagai kekonyolan dalam komunikasi. Sangat masuk akal di berbagai media sosial yang mempertanyakan pernyataan KPK itu. Info simpang siur yang beredar pasca-penangkapan komisioner KPK, Wahyu Setiawan, dan penggeledahan gagal kian mempertontonkan bagaimana pimpinan KPK kedodoran," tulis Tajuk Kompas.
Kontroversi yang beredar di masyarakat menyebutkan bagaimana pimpinan KPK terlihat tidak siap dan gagap dalam melakukan operasi tangkap tangan yang melibatkan Wahyu Setiawan. Operasi itu memang dilakukan dalam posisi transisi hukum dan transisi personalia di kelembagaan KPK.
Kegagapan pimpinan KPK dengan mudah dibaca publik bahwa pimpinan KPK tidak lagi sepenuhnya independen. Asumsi itu belum tentu benar dan masih akan menunggu pembuktian lebih jauh, imbuh Tajuk itu.
Kesan tidak siap dan gagapnya pimpinan KPK melakukan OTT itu bukan mustahil karena aturan mengenai organisasi dan tata kerja (OTK) KPK baru belum ada. Di zaman KPK sepenuhnya independen, aturan OTK itu disusun sendiri oleh KPK. Tapi sekarang sebagai organisasi yang ditetapkan UU Nomor 19/2019 'inferior' di bawah Prsiden, maka KPK harus menunggu "dawuh" atau "sabda" lembaga 'superior'nya apakah bisa menyusun OTK sendiri atau terima bersih yang diturunkan dari atas.
Di balik kekonyolan dan kedodoran itu sama sekali tak ada kesalahan pimpnan KPK. Sebab, sejak berlakunya UU tanggal 17 Oktober hingga pelantikan KPK dan Dewan Pengawas 20 Desember 2019 semestinya semua aturan peranti kerja KPK dan Dewas sudah selesai. Sehingga, begitu usai dilantik KPK dan Dewas lagsung bisa bekerja secara totalitas.
Tapi karena semua aturan itu penyiapannya harus dilakukan lembaga 'superiornya', presiden, mereka hanya bisa menunggu, dan ketika terjadi tugas dadakan (OTT tak bisa ditunda), kerja mereka jauh dari sempurna.
Padahal, hukum itu salah satu pekerjaan yang tak boleh cacat pelaksanaannya. Tapi apa daya jika lembaga 'superior'-nya kekurangan tangan untuk itu, KPK bisa apa? Lain hal jika superiornya seperti eksekutif wayang, Batara Guru, tangannya lebih dati dua. ***
0 komentar:
Posting Komentar