Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 29-01-2020
Rupiah Menguat, Jokowi Cemas!
H. Bambang Eka Wijaya
SAAT rupiah menguat, Presiden Joko Widodo malah cemas. "Nilai tukar rupiah kita menguat. Kalau menguatnya terlalu cepat kita harus hati-hati," kata Jokowi.
Menurut dia, penguatan rupiah yang terlalu cepat bisa berdampak negatif. Penguatan rupiah di satu sisi memang bagus, tetapi juga harus dicermati faktor fundamentalnya. Apalagi pasti ada yang tidak senang atau terbebani dengan penguatan rupiah yang terlalu kuat dan cepat.
"Ada yang tidak senang dan ada yang senang. Eksportir pasti tidak senang karena rupiah menguat, menguat, menguat," kata Jokowi. Dengan rupiah yang terlalu menguat, menurut Jokowi bisa berbahaya. Pasalnya daya saing menurun. (CNBC-I, 18/1/2020)
Penguatan rupiah yang mencemaskan Jokowi itu terjadi setelah 2 Januari 2020 nilai tukar dibuka di level Rp13.865/dolar AS, pada 16 Januari sudah jadi Rp13.635/dolar AS. Rupiah menguat nyaris 2%.
Namun, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai penguatan mata uang Garuda terakhir ini sebenarnya wajar saja. Pasalnya, penguatan terjadi sesuai mekanisme permintaan pasar dan pengaruh dari terjaganya fundamental ekonomi Indonesia.
"Inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi meningkat, neraca pembayaran surplus, aliran modal asing masuk, sehingga nilai tukar rupiah menguat dan ini masih berjalan sesuai mekanisme pasar," jelas Perry. (CNN-I, 22/1)
Penguatan rupiah dalam setengah bulan nyaris 2% itu sebenarnya tidak spektakular. Sehingga sayang, setelah disenggak Jokowi itu penguatannya langsung terhenti. Padahal jika dilepas, sebelum akhir Januari semestinya nilai tukar rupiah sudah kembali ke 2 Januari 2018, yakni di level Rp13.508/dolar AS.
Disayangkan, karena penguatan hampir 2% itu masih sangat jauh dari realitas depresiasi kurs rupiah ke dolar AS selama Jokowi berkuasa, yakni dari 2 Januari 2015 Rp12.494/dolar AS, menjadi Rp13.865 pada 2 Januari 2020. Nilai depresiasinya Rp1.371/dolar AS, lebih 10%.
Mengenai anggapan jika kurs rupiah menguat eksportir dirugikan, itu hanya mitos pada segelintir eksportir. Sedang pada ekonomi makro terjadi sebaliknya. Bukti empirisnya, saat rupiah melemah tembus Rp15.000/dolar AS pada 2018, neraca perdagangan (ekspor-impor) Indonesia mengalami defisit terburuk sepanjang sejarah, 8,57 miliar dolar AS. (BPS, 15/1/2019)
Sebaliknya kala sepanjang 2019 rupiah menguat hingga Level Rp14.100-13.800/dolar AS, bahkan neraca pembayaran (ekspor-impor dan modal) surplus. Artinya, lebih banyak baiknya jika nilai tukar rupiah kuat. ***
0 komentar:
Posting Komentar