Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 21-01-2020
Logika Proses 'Tahapan' Pemilu!
H. Bambang Eka Wijaya
BELAKANGAN terjadi kekacauan dalam sistem elektoral Pemilu Legislatif tingkat nasional. Kader yang meraih suara terbanyak (memenangkan partainya) di Dapil, malah dipecat partainya, diganti dengan calon yang kalah di Dapil tapi menggugat ke pengadilan dan menghasilkan fatwa bahwa partai politik berhak menetapkan kadernya di DPR.
Dengan begitu terkesan, seolah hasil pemilu formal dikalahkan oleh fatwa pengadilan. Padahal, sebenarnya karena ada yang sengaja menyalahtafsirkan fatwa pengadilan yang bersifat umum tentang hak parpol dengan menerapkan secara khusus untuk keuntungan kader yang mengajukan gugatan.
Ini kacau. Mengorbankan secara konyol kader yang telah berjuang sungguh-sungguh memenangkan suara untuk partainya, diganti kader yang realitas keterpilihannya rendah. Dalam jangka panjang suara yang diraih parpolnya akan turun, karena para kader enggan berjuang meraih suara terbanyak, karena lebih mudah mencari fatwa hak parpol yang bersifat umum itu.
Pada akhirnya, untuk menjadi anggota DPR orang akan lebih ramai memilih cari fatwa ketimbang bertarung di Dapil.
Salah tafsir itu terutama terhadap logika proses 'tahapan' pemilu. Fatwa pengadilan yang sebenarnya berlaku pada tahapan pencalonan (hak parpol mencalonkan kadernya), digunakan pada tahapan pelaksanaan hasil pemilu (yang dalam sistem proporsional terbuka mutlak berdasar hasil perolehan suara di Dapil).
Padahal sesuai UU, KPU menetapkan tahapan demi tahapan pemilu dengan sangat rigid. Pada setiap tahapan itu pula telah diatur hak dan kewajiban peserta dan penyelenggara pemilu. Dan hak parpol mencalonkan kadernya terbaik seperti fatwa pengadilan itu, berlaku pada tahapan pencalonan. Sedang tahapan pasca-pemungutan suara, hukum besi berlaku untuk pelaksanaan hasil pemilu berdasar realitas hasil perolehan suara pilihan rakyat.
Logika proses 'tahapan' pemilu dengan hak dan kewajiban yang menyertainya itu, harus ditaati dengan baik oleh peserta maupun penyelenggara pemilu. Jika hak-hak dan mewajiban itu dibolak-balik hanya menurut kepentingan sendiri, sistem pamilu bisa kacau.
Selain itu konsistensi pilihan pada sistem pemilu proporsional terbuka, yakni penentuan perolehan kursi berdasar suara terbanyak di Dapil, harus dijaga bersama. Jadi tak boleh sistem terbuka itu diperkosa dengan sistem proporsional tertutup yang dipaksakan, seperti mengesampingkan perolehan kursi berdasar suara terbanyak dengan membuat pengecualian di luar UU Pemilu. ***
0 komentar:
Posting Komentar