Tindakan Pemetintah Daerah terhadap terduga pelanggar aturan pajak wajar. Namun, posisi Pemerintah Daerah sebagai pembina dan pengayom semua kegiatan usaha rakyat di daerahnya, tak boleh dilupakan.
Untuk itu setiap tindakan harus persuasif, sebagai proses mendidik dan melakukan pembinsan. Bukan menyusahkan apalagi membunuh usaha yang wajib dibinanya.
Seperti penyegelan terkait masalah pajak baru-baru ini. Jangan disegel terlalu lama sehingga usahanya jadi macet. Tapi cukup paling lama tiga hari, sebagai pelajaran, bersamaan itu masalahnya diproses cepat.
Contohnya kasus pajak nasional puluhan miliar rupiah di sebuah pabrik gula di Lampung Tengah. Penindakan dengan proses hukum terhadap pimpinan dan konsultan pajaknya, tanpa menyegel pabrik gula itu satu hari pun.
Sebab, kalau pabriknya disegel, kegiatan usahanya terhenti, ribuan karyawannya kehilangan pekerjaan, 'mesin' sumber penghasilan pajak negara juga terganggu.
Demikian pula dengan pengelolaan sumber pajak daerah. Berbagai aspeknya harus dipertimbangkan termasuk kelanggengan sumber pajak daerah, yang harus tetap jalan. Kalau sumbernya ditumpas, tinggal tunggu waktu saja pendapatan daerah merosot.
Juga aspek tenaga kerja. Investor yang menanam modal ratusan triliun saja diberi tax holiday, libur pajak, sampai 20 tahun, demi membuka lapangan kerja.
Lha ini usaha rakyat yang sudah jalan malah ditutp paksa, pintunya disegel. Padahal, saat rakyat sekarat, negara wajib menolong.
Rasa kemanusiaan kepada karyawan usaha yang disegel juga perlu, sesuai semangat Pancasila. Bayangkan nasib ratusan karyawan hotel yang disegel, sudah jatuh tertimpa tangga. Selama pandemi hotel paling terpukul. Di Yogya, lebih 100 hotel tutup permanen. Lha ini, yang masih hidup malah ditebas.
Penyegelan cukup satu-dua hari sabagai pembinaan, sedangkan masalahnya diproses secara proporsional sekaligus dengan pembenahan perpajakan daerah.
Misalnya, untuk memakai alat elektronis tertentu seperti di Bali, mungkin kondisi masyarakatnya perlu dipertimbangkan. Di Bali pajak 10% dan service 11% (jadi 21%) ditambahkan dari jumlah harga makanan, yang makan turis luar Bali, bahkan luar negeri. Di sini yang makan orang Umbul Balak, makan bakso Rp15.000 ditambah tax and service 21%, bis ribut.
Jadi sistem pajaknya juga disesuaikan kondisi masyarakatnya. Mungkin seperti di negara maju, sistem self assessment. Tak terkesan terlalu memaksa wajib pajak secara lebih kejam dari penjajah.
Jakarta, 2 Juli 2021
0 komentar:
Posting Komentar