Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Akhlak Politik, Amar Makruf Nahi Mungkar!


"APA cerita Kiai Husin, guru ngajimu semasa kecil itu, hingga kau lupa kita harus siap pulang ke kota sebelum asar?" tanya Amir.

"Cerita soal partai-partai politik (parpol) berbasis massa kaum saleh!" jawab Umar.

"Mungkin akibat terlalu lama tak ada teman bicara yang tak segan mengkritisi ucapannya, dia jadi bersemangat jika kusangkal asumsinya! Misalnya tentang tradisi amar makruf nahi mungkar—memperjuangkan kebenaran/kebajikan dan memerangi kejahatan/keburukan—sebagai dasar moralitas dalam mengekspresikan akhlak politik, cenderung makin ditinggalkan parpol berbasis massa kaum saleh itu demi orientasi yang makin kuat pada kekuasaan!"

"Penilaian Kiai Husin itu benar 100 persen!" entak Amir. "Kau sangkal dengan dalih apa pula?"


"Bahwa cara berpikir elite parpol tidak lagi hitam-putih seperti Kiai Husin, kalau tidak makruf berarti mungkar! Di antara hitam dan putih ada abu-abu!" jelas Umar.

"Lalu dia berkeras, warna abu-abu sebagai bentuk yang meragukan hanya boleh dijadikan pilihan sepanjang tidak bertentangan dengan sang makruf! Sedang pada elite parpol-parpol itu, dipilih justru sebagai usaha melindungi dan berpihak pada kemungkaran dan kejahatan—
semisal mafia pajak yang merongrong keuangan negara hingga menyengsarakan rakyat! Berarti, elite parpol-parpol itu mengorbankan rakyat dan bersyubhat dengan kekuatan jahat semata demi kekuasaan sebagai imbalannya!"

"Bagaimana pula kau sangkal itu?" kejar Amir.

"Bahwa keberpihakan pada mafia dan kejahatan itu demi orientasi pada kepentingan yang lebih tinggi serta luhur!" jawab Umar. "Yakni, akhlak berkoalisi, yang berulang-ulang diucapkan ketua partai induk koalisi, akhlak berkoalisi adalah harus selalu satu sikap dan satu bahasa!"

"Apa kata Kiai Husin atas kilahmu itu?" tanya Amir.

"Kembali ke kebiasaannya, setelah debat melewati argumen tahap ketiga, yang menurut Kiai Husin jika dilanjutkan hanya akan jadi debat kusir, dia lantas mengambil kitab kuning!" jawab Umar. "Ia buka satu halaman, disuruhnya aku membaca, untung aku masih ingat huruf Jawi—Arab gundul! Bunyinya, 'Untuk menuju Allah, ada dua langkah yang disukai-Nya. Pertama, langkah kamu untuk mengokohkan barisan di Jalan Allah. Kedua, langkah kamu untuk menyambungkan kasih-sayang. (Al Bihar, 78: 58)"

"Berarti Kiai Husin bisa menerima argumentasimu membela pimpinan parpol-parpol berbasis massa kaum saleh dalam koalisi?" timpal Amir.

"Dengan syarat!" jawab Umar. "Kasih sayang yang dipintal itu dalam bingkai amar makruf!" ***

0 komentar: