MAHASISWA meneliti karakter massa, menemui carik. "Kenapa warga desa ini pemberang, pernah membakar hidup-hidup maling sapi?" tanya mahasiswa. "Juga merebut penjahat dari tahanan Polsek!"
"Kesabaran warga desa habis setelah puluhan tahun tertekan oleh hasil kerja aparat hukum, polisi, jaksa, hakim, dan sipir, yang bukan membuat penjahat jera, tapi malah jadi profesional!" jelas carik. "Contohnya Si Kampret, anak seberang rawa! Ia pertama tertangkap curi ayam, kami serahkan ke polisi. Beberapa bulan kemudian tertangkap lagi mencuri kambing, juga kami serahkan ke polisi. Ganti tahun, saat warga menangkap maling sapi, ternyata lagi-lagi Si Kampret! Warga jadi kesal, aparat penegak hukum menangani pelaku kejahatan seperti sekolah penjahat, dari maling ayam naik kelas jadi maling kambing, keluar penjara naik kelas lagi jadi maling sapi!"
"Itu bukan salah aparat penegak hukum!" bantah mahasiswa. "Tapi akibat sistem peradilan pidana (criminal justice system—CJS) yang acuannya KUHAP (UU No. 8/1981) bersifat restributif, amat menguntungkan pelaku kejahatan seperti Si Kampret! Dalam CJS tersebut Si Kampret dijadikan pengantin, hak-haknya ditetapkan dengan rinci tanpa boleh dilanggar oleh aparat penegak hukum! Kalau dilanggar, praperadilan siap menegakkan kembali hak-hak Si Kampret—dengan ancaman yang sebaliknya, justru aparat penegak hukum yang mendapat ganjaran dihukum!"
"Bagaimana hak-hak korban kejahatan Si Kampret, juga rasa keadilan masyarakat desa yang telah terganggu ketenteramannya?" ujar carik.
"Justru semua itu belum cukup diatur KUHAP sekarang, yang orientasi keadilannya lebih terfokus buat Si Kampret!" tegas mahasiswa. "Padahal, syarat bagi terwujudnya justice for all—keadilan buat semua—nasib korban kejahatan dan rasa keadilan masyarakat harus terakomodasi dalam sistem! Artinya, dengan KUHAP yang sekarang, impian mewujudkan justice for all masih sebatas wacana! Karena untuk justice for all acuannya juga harus mengutungkan korban dan masyarakat! Tak cuma menguntungkan si Kampret!"
"Itu dia! Meskipun tak tahu teori-teori hukum, warga desa bisa merasakan ada yang tidak beres dengan proses penegakan hukum di negeri kita!" entak carik. "Tapi syukurlah, hal yang terasa tak enak di hati warga itu bukan bersumber pada kesalahan aparat penegak hukum, tapi karena sistemnya yang kurang pas! Cuma, karakter massa yang pemberang juga susah diredam sebelum sistem hukum yang menyulut amarah dan amuk massa itu dibereskan!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Jumat, 25 Maret 2011
Kala Si Kampret Jadi Pengantin!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar