"WARGA asing ramai kemari ngapain?" tanya Temin. "Mereka kumpul di bangunan pojok sana!"
"Bangunan di pojok itu bar!" jelas Temon. "Jadi, orang yang mojok ke sana tentunya ngebar!"
"Ngebar itu ngapain?" kejar Temin.
"Ngebar itu ngebir, minum bir!" jelas Temon.
"Ngebar dan ngebir, lalu ngapain?" tanya Temin.
"Ngebar, ngebir, lalu ngebor!" tegas Temon.
"Ngebar, ngebir, ngebor!" entak Temin. "Ngebor apa?"
"Ngebor sumur minyak bumi—BBM!" tegas Temon. "Warga asing itu pekerja tambang minyak!" jelas Temon. "Mereka tak bisa ngebor karena perusahaan tak mau bayar pajak sebelum pengeborannya mengeluarkan minyak! Sedang ketentuan UU baru yang berlaku, pajak dibayar saat mulai pengeboran, tak harus menunggu minyaknya lebih dulu keluar! Begitu kata ahli perminyakan, Kurtubi!" (Metro TV, 9-3)
"Sudah tahu itu, kok tetap di sini?" tanya Temin.
"Mereka perkirakan, banyak sumur minyak yang ada segera kering, kalau tak ngebor sumur baru jumlah produksi turun, akhirnya tak cukup untuk konsumsi!" jelas Temon,
"Saat itu terjadi, mereka pasti ditugasi ngebor sumur baru!"
"Ternyata tidak begitu!" timpal Temin. "Produksi minyak mentah kita yang sempat mencapai 1,6 juta barel per hari kini sudah merosot sampai 700 ribu barel per hari, hingga untuk konsumsi dalam negeri saja pun tak cukup! Akibatnya, kalau dulu kita anggota OPEC—negara pengekspor BBM—kini keluar dan jadi negara pengimpor BBM! Setiap hari, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, kini kita impor dari Timur Tengah 300 ribu barel!"
"Busyet! Ternyata ku banyak tahu tentang BBM!" tukas Temon. "Masalahnya, kita sekarang jadi kesulitan BBM, padahal kan tinggal ngebor!"
"Selain UU yang dibiarkan mengganjal, kita juga ditakut-takuti orang asing cadangan minyak kita hampir habis, padahal tak sepenuhnya benar!" timpal Temin. "Seperti cadangan minyak kita di bawah laut, kata Kurtubi, banyak yang belum disentuh! Dari semua itu tampak, justru yang benar adalah kenyataan pemerintah sekarang ini yang tak mampu menangani pertambangan BBM, hingga produksi terus merosot dengan alokasi impor kian membengkak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang juga terus naik!"
"Gawatnya, ketika bersiap membatasi subsidi BBM, harga BBM dunia meroket berakibat subsidinya justru membengkak!" tegas Temon. "Opsi-opsi mengatasinya pun muncul, semua punya dampak inflatoar—naiknya harga kebutuhan hidup rakyat! Ujungnya, rakyat jelata di lapisan sosial terbawah yang harus menanggung beban deritanya!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Rabu, 09 Maret 2011
Sulit BBM, ‘Ngebar, Ngebir, Ngebor’!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar