Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Calo Patok, Biang Konflik Lahan di Lampung!

"AGUS Revolusi, aktivis pendamping warga dalam sengketa lahan, dalam diskusi di Lampung Post lima tahun lalu, menyebutkan lebih 300 ribu warga hidup nomaden—tanpa rumah maupun sumber penghidupan jelas—di seantero kawasan hutan register Provinsi Lampung!" ujar Umar. "Dari jumlah itu, sektar 25 ribu keluarga atau nyaris seperempatnya ditampung dalam program hutan kemasyarakatan di Kabupaten Tanggamus! Sisanya masih belum menentu nasibnya!" "Sisanya cenderung bertambah, seiring terus munculnya korban baru calo patok yang tak henti beroperasi mengerahkan perambah ke kawasan register!" timpal Amir. "Calo patok itu bisa berupa yayasan memakai nama orang penting di pusat, bisa menyaru lembaga formal atau LSM, yang penting bisa membuktikan dengan uang patok Rp1 juta, orang bisa dapat tanah garapan 2 hektare! Dengan pola itu, ribuan orang memenuhi kawasan register, membentuk brigade massa berjuang membela hak atas tanah yang telah mereka beli dari menjual harta di kampung asal!" 

"Maka tak aneh dalam sengketa tanah di daerah ini, orang dengan nama bukan warga Lampung menggugat tanah ulayat!" tegas Umar. "Itu bisa terjadi karena seperti di satu register, kepala desa pinggiran register membuat selebaran dilegalisasi stempel camat dan bupati menawarkan satu patok 2 hektare lahan seharga Rp1 juta! Lahan dimaksud tanah ulayat desa, berbentuk hutan register! Di pantai timur satu yayasan membawa ribuan orang dari Jawa menggasak habis green belt mangrove yang ditanam ABRI Manunggal Reboisasi selama Orde Baru! Ribuan dari keluarga itu menduduki 8.000 hektare areal perluasan tambak Bratasena!"

"Terlepas dari konflik HAM yang diatasi, potensi konflik sejenis tinggal soal waktu terjadi di kawasan warga nomaden yang berserak luas di Lampung—jika tidak sekali kayuh semua masalah sejenis diselesaikan!" timpal Amir. "Penyelesaian model Tanggamus di kabupaten lain akan mampu mengatasi sebagian besar warga nomaden korban calo patok—yang pada setiap penertiban maju tak gentar membela hak yang mereka bayar!" "Sisanya dibuatkan usaha bersama dalam satu kompleks tempat mereka tinggal seperti Kibutz di Israel—50 hektare untuk 100 keluarga!" ujar Umar. "Setengah hektare per keluarga, 1.000 meter untuk pekarangan, 4.000 meter usaha intensif semisal tambak nila! Dikelola bersama karena butuh pengadaan dan pengolahan air, pengadaan bibit dan pakan, pemasaran produksinya, dan listrik—karena terpencil, 10 tahun lagi belum tentu PLN bisa memasoknya!" ***

0 komentar: