"AH, roti keju lagi!" keluh Edi saat membuka kotak plastik bekal makan siang pada jam istirahat buruh pabrik. "Tiap hari makan roti keju!"
"Edi!" entak Edo. "Setiap hari kau mengeluhkan bekal makan siangmu roti keju! Bilang ke istrimu supaya mengganti menu makan siangmu!"
"Aku belum kawin, Bang!" jawab Edi. "Aku cuma bisa membuat roti keju untuk makan siangku!"
"Kalau begitu jangan mengeluh terus!" tegas Edo. "Tapi syukurilah, dengan kondisimu yang terbatas itu bisa bertahan hidup, sekaligus konsumsimu atas roti dan keju yang bahan bakunya diimpor itu menyumbang pertumbuhan ekonomi provinsi Lampung 5,2% sampai 6,2% pada 2012!"
"Jadi konsumsi kita yang terbatas menyumbang pertumbuhan ekonomi daerah juga?" timpal Edi.
"Konsumsi swasta menyumbang 51% PDRB—produk domestik regional bruto—jauh di atas belanja pemerintah, 22,77%!" tegas Edo. "Tapi bagi buruh yang konsumsinya terbatas, arti pertumbuhan yang dinikmati juga kecil!"
"Cuma tumbuh umurnya saja, Bang!" entak Edi. "Kalau ekonomi dan kekayaannya, tidak tumbuh!"
"Memang! Pertumbuhan itu hanya dinikmati elite dan kelas menengah!" tegas Edo. "1% elite di puncak piramida bangsa menguasai 30% aset nasional! Disusul 15% kelas menengah menguasai 50% aset nasional! Lalu, 84% rakyat jelata cuma kebagian 20% aset nasional!"
"Pantas jalanan macet oleh mobil baru di semua kota besar, jemaah haji antre menunggu giliran lebih lima tahun, penumpang pesawat terbang tak tertampung ruang tunggu, karena kelas menengah tumbuh dahsyat ekonominya!" timpal Edi. "Tapi di lain pihak, lapisan terbawah yang jumlahnya tambah besar porsinya semakin kecil!"
"Begitulah realitasnya!" tegas Edo. "Pertumbuhan kelas menengah memang luar biasa, terutama dalam peningkatan kemampuan konsumtifnya! Dengan sikap pragmatismenya yang amat kuat pula, kesenjangan ekonomi dengan lapisan rakyat jelata kian mencolok!" (Kompas, 19-22 Desember) "Dengan kelas menengah yang pragmatis, hanya berorientasi pada kepentingan dan kepuasan dirinya, tanpa kecuali itu harus dicapai dengan mengorbankan jelata seperti buruh dan warga miskin umumnya, dengan sistem distribusi yang sangat tak adil pertumbuhan bisa berarti pengorbanan bagi kaum jelata!" timpal Edi. "Karena, pertumbuhan dicapai dari selisih nilai produktivitas sebenarnya kelas pekerja dengan upah yang cuma sebagian kecil dari nilai produktivitas tersebut!" ***
"Begitulah realitasnya!" tegas Edo. "Pertumbuhan kelas menengah memang luar biasa, terutama dalam peningkatan kemampuan konsumtifnya! Dengan sikap pragmatismenya yang amat kuat pula, kesenjangan ekonomi dengan lapisan rakyat jelata kian mencolok!" (Kompas, 19-22 Desember) "Dengan kelas menengah yang pragmatis, hanya berorientasi pada kepentingan dan kepuasan dirinya, tanpa kecuali itu harus dicapai dengan mengorbankan jelata seperti buruh dan warga miskin umumnya, dengan sistem distribusi yang sangat tak adil pertumbuhan bisa berarti pengorbanan bagi kaum jelata!" timpal Edi. "Karena, pertumbuhan dicapai dari selisih nilai produktivitas sebenarnya kelas pekerja dengan upah yang cuma sebagian kecil dari nilai produktivitas tersebut!" ***
0 komentar:
Posting Komentar