"KINI kelas menengah versi Karl Marx, majikan dan borjuis yang menguasai alat produksi, modal finansial, lahan, dan teknologi produksi sebagai kelompok determinan atas kelas buruh/proletar yang menjual tenaganya untuk mendapat upah sekaligus diperlakukan sebagai alat produksi, sudah lama ditinggalkan sebagai pendekatan analisis! Tapi, wallahualam dalam praktiknya!" ujar Umar.
"Karena itu, bicara kelas menengah Indonesia juga bisa bias karena analisis lebih maju jauh dari realitas!"
"Itu terlihat dari warga di bawah garis kemiskinan versi BPS dengan konsumsi setara 89 sen dolar per orang per hari Maret 2013 masih 28,07 juta jiwa atau 11,37% dari penduduk, sedang kelas menengah versi Asian Development Bank (ADB-2010) dengan pengeluaran 2 dolar sampai 20 dolar AS per orang per hari jumlahnya 56% dari 237 juta penduduk Indonesia! (Yuswohadi.com, 26-11-2012)" timpal Amir.
"Kalau kedua kelompok itu digabung jadi 66% lebih atau dua pertiga dari jumlah penduduk! Masalahnya, mungkinkah warga berkonsumsi di atas 89 sen sampai 2 dolar AS per hari dan warga kelas atas dengan belanja di atas 20 dolar AS per hari jumlahnya kurang dari sepertiga total penduduk?"
"Padahal justru warga dengan konsumsi di atas 89 sen sampai 2 dolar AS per orang per hari itu yang bisa diduga sebagai mayoritas penduduk Indonesia!" tukas Amir.
"Karena itu, mungkin agak lebih dekat dengan realitas hasil survei McKinsey Global Institute yang dirilis tahun lalu yang menyebut kelas menengah dengan consuming class!
Definisinya, individu yang punya pendapatan sebesar 3.600 dolar AS pada purchasing power parity (PPP, 2005) ke atas. Dengan definisi ini, menurut Yuswohadi (idem) jumlah kelas menengah kita 45 juta di 2010!"
"Kembali ke awal cerita rendahnya kesadaran partisipasi politik kelas menengah dan realitas gejolak aksi buruh yang mencerminkan euforia booming konsumsi kelas menengah, artinya tak signifikan bagi lingkungannya sehingga secara umum terkesan kebangkitan kelas menengah Indonesia belum bisa menjadi andalan penggerak maju bangsa seperti idealnya!" simpul Umar.
"Realitasnya kelas menengah masih terlalu asyik dengan kenikmatan dirinya semata, terutama di sektor politik yang mendapat kekuasaan secara transaksional—membelinya dari rakyat!" ***
0 komentar:
Posting Komentar