"MAHATMA Gandhi dikerubuti warga yang mudah mengenali dirinya dalam gerbong kereta api kelas tiga!" ujar Umar. "Warga pun bertanya ke pemimpin bangsanya itu, 'Kenapa yang mulia naik kereta di kelas tiga?' Gandhi dengan tenang menjawab, 'Karena tidak ada kelas empat!"
"Itulah Gandhi, pemimpin yang memberi teladan hidup sederhana secara mendasar dengan menjalaninya, bukan cuma omong kosong!" timpal Amir. "Ajaran Gandhi hidup sederhana itu, dengan memakai kain yang dipintal dan ditenun bangsa sendiri, disebut swadesi! Dan itu ajaran moral yang mendasari karakter bangsanya untuk bisa hidup mandiri!"
"Para pemimpin Indonesia sebaliknya!" tukas Umar. "Para menteri, misal, sudah ada mobil kelas eksekutif pun, masih harus ditukar dengan Crown berharga di atas Rp1 miliar! Pola hidup yang harus serbamentok ke atas atau kelas tertinggi itulah tradisi elite pemimpin kita! Sebagai model top pendidikan karakter bangsa, bisa ditebak eksesnya ke masyarakat!"
"Jadi defisit karakter dalam pendidikan itu secara kelembagaan masih subordinat, di bawah lembaga pemerintahan!" timpal Amir. "Dan karena sumber defisit karakter bangsa itu ternyata lembaga pemerintah, harus disimak lewat pendekatan kelembagaan pula, yakni terkait tiga dimensinya—kepemimpinan, koordinasi, dan kompetensi!"
"Dari dimensi kepemimpinan, dibanding KA kelas tiga dan tenunan sendiri, contoh karakter pemimpin kita jauh dari hidup sederhana dan secara totalitas tergantung pada asing—bangsanya sendiri bermimpi saja pun belum mampu untuk membuat mobil sekelas Crown!" tegas Umar, "Beda tingkat sederhananya jauh sekali, dari KA kelas tiga, ke kelas dua, satu, bisnis, VIP, dan VVIP—enam tingkat strata sosial!"
"Lalu masalah koordinasi, yang menonjol justru paradoks dengan multidefisit yang telah disebut terdahulu!" lanjut Amir. "Artinya, multidefisit itu merupakan buah kegagalan koordinasi mencapai tujuan program yang mayoritas justru dipatok swasembada!
Jika koordinasi pelaksanaan program berjalan baik, tentu swasembada yang tercapai, bukan defisit!" "Akhirnya masalah kompetensi, dengan kabinet hasil koalisi partai politik sejak awal memang sudah mengesampingkan model zaken kabinet—yang dibentuk atas dasar kompetensi profesionalitas di bidangnya!" kata Umar.
"Karakter orang yang sok ahli di bidang yang sebenarnya dia awam, bisa dibayangkan salah tingkahnya! Dan di pundak orang seperti itulah diserahkan nasib bangsa ini!"
0 komentar:
Posting Komentar