Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Dialog Workshop Pendidikan Kritis!


"BUAT gambaran sukses dari pelaksanaan revitalisasi pertanian!" perintah instruktur ke peserta workshop pendidikan kritis. "Bukti sukses dari pelaksanaan revitalisasi pertanian itu adalah semakin banyak kita impor komoditas pertanian dari negara-negara lain!" jawab peserta. 

"Data baru BPS dari Januari sampai Oktober 2013, Indonesia mengimpor gula tebu 2,7 juta ton, bawang merah dan putih nyaris 0,5 juta ton, kedelai 2 juta ton! Belum lagi beraneka buah, daging, dan ikan! Itu di luar yang impornya lewat penyelundupan seperti bawang putih yang belakangan sering tertangkap!" "Cukup!" instruktur menghentikan ucapan peserta yang nyerocos serbajuta ton terus.

"Nilai 100 plus buat Anda! Dari situ bisa dilihat dari cara berpikir kritis, suatu tindakan atau kebijakan dalam bernegara bangsa tidak berdiri sendiri! Di satu sisi suatu kebijakan lebih penting sifat seremonialnya, sehingga selesai upacara kurang diperhatikan proses programnya yang ternyata ngelelet! 

Padahal tuntutan kebutuhan terkait objek itu mendesak!" "Itu terjadi pada kebijakan swasembada daging sapi!" sela peserta lain. "Retorika bertubi-tubi di iklan televisi dengan foto-foto sapi lokal dibariskan, di sisi lain impor daging sapi dipacu besar-besaran sampai mencapai rekor sepanjang sejarah!" 

"Begitulah proses pendidikan kritis, dua atau lebih fakta terkait suatu objek—semisal sapi—dirangkai dalam kesatuan analisis yang berbasis antilogis!" tegas instruktur. "Hasilnya, kebijakan-kebijakan pemerintah itu terlihat nyata sekali bertentangan dengan akal sehat—revitalisasi pertanian praktiknya justru memacu impor berbagai komoditas pertanian, atau swasembada daging sapi dipenuhi dengan daging impor!" 

"Dalam politik, partai yang kampanye dengan iklan antikorupsi di televisi, elitenya masuk penjara atau jadi tersangka korupsi!" timpal peserta dari bangku belakang. "Atau aparat penegak hukum, polisi, jaksa, atau hakim—bahkan hakim konstitusi—jadi kelompok pelanggar hukum signifikan, terutama dalam kejahatan luar biasa—korupsi! Realitas yang betul-betul antilogis!" 

"Itu terjadi salah satunya karena sebagian elite yang terkait kasus kurang berminat pada pendidikan kritis sehingga mengira hal-hal bertentangan akal sehat yang mereka lakukan itu wajar-wajar saja!" tegas instruktur. "Mereka tak bisa melihat itu sebagai suatu kesalahan, baik menurut akal sehat maupun menurut hukum, hingga mereka menyebut aneh ketika hakim yang memvonis mereka bersalah dan menjatuhkan hukuman!"

0 komentar: