"MESKIPUN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengingatkan pemerintah untuk moratorium dana bantuan sosial (bansos) karena rawan disalahgunakan selama pemilu, ternyata anggaran bansos justru naik!" ujar Umar. "Menurut data Kementerian Dalam Negeri 2014, kenaikan ada yang hingga Rp56 miliar itu terjadi di delapan provinsi: Aceh, Jambi, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, Sulut, Bali, dan Gorontalo." (Kompas.com, 3/4)
"Dana bansos digolongkan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas soft corruption, yang menguntungkan kepentingan pelakunya, bentuknya tidak selalu dalam nominal uang!" timpal Amir. "Dalam hal korupsi dana bansos, uangnya disalurkan ke kelompok tertentu yang dikoordinasi untuk mendukung kepentingan politik tertentu! Alirannya yang populis, langsung ke kelompok tertentu itu, menjadikan bansos rawan bagi kepentingan politis!"
"Namun, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan dana bansos yang dianggarkan daerah setiap tahun terus diawasi sejauh mana implementasi dan penerapannya!" ujar Umar. "Permendagri No. 32/2011 dan No. 39/2012 tentang Dana Bansos berusaha mengatur penggunaan dana secara ketat!"
"Itu formalnya! Realitas penggunaannya di lapangan, masyarakat daerah sudah maklum adanya bagaimana yang terjadi, terutama sekitar waktu pemilu kepala daerah!" tegas Amir. "Kenyataan yang bukan rahasia lagi bagi masyarakat itulah yang jadi dorongan bagi KPK dan lembaga-lembaga antikorupsi untuk mengingatkan pemerintah bahaya dana bansos selama masa pemilu!"
"Potensi penyalahgunaan dana bansos itu, menurut Abdullah Dahlan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), tidak terlepas dari besarnya kewenangan kepala daerah untuk mendistribusikan dana tersebut ke masyarakat!" timpal Umar.
"Peningkatan bansos pada tahun pemilu mengindikasikan desain untuk penyalahgunaan anggaran sudah ada sejak awal!"
"Akibat penyalahgunaan dana bansos untuk pemilu dan pemilukada itu adalah realitas demokrasi yang tidak adil" tegas Amir.
"Proses yang tidak adil, tidak bisa diharapkan menghasilkan kekuasaan yang adil! Kekuasaan tidak adil itu buruk sehingga membuat rakyat berharap mendapatkan kebaikan lewat proses yang didesain dengan keburukan! Tidak mustahil jika rakyat cuma dapat kesia-siaan! Andaipun ada kebaikan yang diangkat dan ditonjolkan, bentuknya mungkin retorika atau hyperreality—realitas semu hasil tayangan media yang intens!"
0 komentar:
Posting Komentar