Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kampanye Idealnya Mencerdaskan!


"KAMPANYE pemilu legislatif tinggal tiga hari lagi. Tapi sejauh ini dari pantauan di media, sedikit sekali isi pidato kampanye yang mencerdaskan!" ujar Umar. "Padahal, sutradara Garin Nugroho dalam Malakama Presiden Baru (Kompas, 30/3) menulis saatnya mengubah pemilih melodramatik serta serbacinta monyet menjadi masyarakat rasional-kritis!"

 "Kebanyakan justru mengulang janji-janji kampanye masa lalu yang tidak kunjung berhasil diwujudkan!" timpal Amir. "Atau menyindir bahkan menuding keburukan lawan politiknya! Gemuruh kampanye pun hanya menghabiskan energi dan waktu rakyat konstituen tanpa mendapatkan pencerahan politik untuk menapak benar ke masa depan yang lebih baik!"

"Garin mencemaskan jika pemilu tak menghasilkan presiden yang mumpuni, Indonesia pasca-2018 terjebak situasi 'terjun bebas', suatu krisis besar berbasis energi, pangan, dan hilangnya produktivitas berbangsa, bahkan akan mampu menyulut kerusuhan sosial!" tegas Umar.

"Hal itu terjadi, menurut Garin, karena presiden beserta kabinet hingga DPR dari periode ke periode sebelum 2014 menjalankan kebijakan politik populer di mata masyarakat, yang mengacu pada kestabilan dan pertumbuhan ekonomi seumur periode berkuasanya!" "Contohnya aspek ketahanan pangan pascareformasi terbaca 39 jenis hasil bumi diimpor (beras, garam, kedelai, dsb.)," timpal Amir.

"Akibatnya, dampak besar melemahnya produktivitas pangan lokal akan dibebankan kepada presiden baru pasca-2014. Karena itu, tulis Garin, presiden pasca-2014 akan memegang bola api panas berbagai persoalan energi dan pangan serta produktivitas lokal!" "Untuk itu jelas, kampanye seharusnya menjadi medium mencerdaskan rakyat agar mampu mengkritisi tantangan bola api panas tinggalan para pemimpin pra-2014!" tukas Umar.

 "Namun, bukan hanya kebanyakan politisi susah mengubah kebiasaan lama! Revolusi teknologi informasi yang demikian canggih juga tak diikuti peningkatan kualitas konten komunikasi politik! Sebaliknya, konten komunikasi politik semakin kuno, basi, dan vulgar!

Komunikasi politik menjadi ajang fitnah dan saling hujat, kehilangan esensinya sebagai teladan karakter bangsa yang berbudi luhur!" "Mencari tokoh pilihan (Satrio Piningit) di tumpukan pemimpin yang layak dilupakan itu, tak beda mencari jarum di tumpukan jerami!" timpal Amir.

"Tapi bagi massa yang rasional-kritis, dalam tumpukan sampah justru lebih mudah mencari berlian yang berkilau cemerlang!"

0 komentar: